Definisi Tawassul
Tawassul memiliki arti dasar “mendekat”, sementara Wasilah adalah media
perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud disini adalah
mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan perantara lain,
baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal
shaleh, atau melalui makhluk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya
yang mulia disisi Allah. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah).
Macam-Macam Tawassul
Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya
oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni
ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam
tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:
1. Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2. Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam
sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka
masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang
berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua
bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan
perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga
bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya.
Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang
menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari
dalam gua dengan selamat.
3. Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas
bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t
meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib
(paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan
kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan
pada kami”. Anas berkata: “Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad(HR.
Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4. Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan
adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani
(ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani,
al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari,
Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang
memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam
yang melarang tawassul semacam ini.
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang
telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang
laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi
hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak
memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif
(perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air
wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya
Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui
Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku
menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan.
Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan
oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin
Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan
Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan
berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman
bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam
al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I264, dan al-Tawassul wa
al-Wasilah, II199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata:“Dan sungguh al-Thabrani
berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat
ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II565)
Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada
orang lain setelah Rasulullah Saw wafat. Dan kalaulah tawassul kepada
Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin
seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah Saw.
Bahkan Utsman bin Hunaif menyaksikan sendiri ketika Rasulullah Saw
mengajarkan doa Tawassul diatas sebagaimana dalam riwayat sahih berikut
ini: “Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang
kepada Rasulullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya
sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan
saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (Allahumma inni as'aluka wa
atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyirrahmati Ya Muhammad qad
tawajjahtu bika ila Rabbi. Allahumma Syaffi'hu fiyya wa syaffi'ni fi
nafsi): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu
melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku
menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya
Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia
berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR.
Hakim dan al-Turmudzi)
Bertawassul Saat Ziarah Kubur
Berikut ini pendapat para ahli hadis tentang tawassul saat ziarah kubur:
1. Sahabat Bilal bin Harits al-Muzani. “Dari Malik al-Dari (Bendahara
Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar,
kemudian ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) datang
ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan
untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang
kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau berkata: Datangilah
Umar…”. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hajar, Fathul Bari, III441.
Beliau berkata: Sanadnya jayyid)
2. Ahmad Bin Hanbal. "Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam
Ahmad tentang seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari
berkah dengan memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya
dengan makam Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan
itu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: "Tidak
apa-apa" (Ahmad bin Hanbal al-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)
3. Imam Syafi'i. "Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar
Syafi'i berkata bahwa: Saya mencari berkah dengan mendatangi makam
Abu Hanifah setiap hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat
dua rakaat dan saya mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta
kepada Allah di dekat makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat
saya dikabulkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh
Baghdad I123)
4. al-Hafidz Ibnu Hajar. "al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali
al-Naisaburi berkata bahwa saya berada dalam kesulitan yang sangat
berat, kemudian saya bermimpi melihat Rasulullah Saw seolah beliau
berkata kepada saya: Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah
ampunan dan berdolah kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan.
Pagi harinya saya melakukannya dan hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI261)
5. al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dan al-Hafidz al-Dzahabi. Kedua ulama ahli
hadits ini menyebutkan tentang makam ulama shufi: “Ma’ruf al-Karkhi
wafat pada tahun 200 H, kuburnya di Baghdad dicari berkahnya.
Ibrahim al-Harabi berkata: “Makam Ma’ruf adalah obat yang mujarrab”.
(Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, II324 dan Al-Dzhabi, Tarikh
al-Islam; XIII404, dan Siyar A’lam al-Nubala’; IX343)
[
perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud disini adalah
mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan perantara lain,
baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal
shaleh, atau melalui makhluk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya
yang mulia disisi Allah. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah).
Macam-Macam Tawassul
Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya
oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni
ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam
tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:
1. Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2. Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam
sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka
masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang
berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua
bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan
perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga
bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya.
Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang
menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari
dalam gua dengan selamat.
3. Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas
bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t
meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib
(paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan
kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan
pada kami”. Anas berkata: “Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad(HR.
Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4. Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan
adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani
(ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani,
al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari,
Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang
memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam
yang melarang tawassul semacam ini.
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang
telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang
laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi
hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak
memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif
(perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air
wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya
Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui
Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku
menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan.
Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan
oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin
Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan
Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan
berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman
bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam
al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I264, dan al-Tawassul wa
al-Wasilah, II199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata:“Dan sungguh al-Thabrani
berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat
ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II565)
Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada
orang lain setelah Rasulullah Saw wafat. Dan kalaulah tawassul kepada
Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin
seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah Saw.
Bahkan Utsman bin Hunaif menyaksikan sendiri ketika Rasulullah Saw
mengajarkan doa Tawassul diatas sebagaimana dalam riwayat sahih berikut
ini: “Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang
kepada Rasulullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya
sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan
saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (Allahumma inni as'aluka wa
atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyirrahmati Ya Muhammad qad
tawajjahtu bika ila Rabbi. Allahumma Syaffi'hu fiyya wa syaffi'ni fi
nafsi): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu
melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku
menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya
Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia
berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR.
Hakim dan al-Turmudzi)
Bertawassul Saat Ziarah Kubur
Berikut ini pendapat para ahli hadis tentang tawassul saat ziarah kubur:
1. Sahabat Bilal bin Harits al-Muzani. “Dari Malik al-Dari (Bendahara
Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar,
kemudian ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) datang
ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan
untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang
kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau berkata: Datangilah
Umar…”. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hajar, Fathul Bari, III441.
Beliau berkata: Sanadnya jayyid)
2. Ahmad Bin Hanbal. "Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam
Ahmad tentang seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari
berkah dengan memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya
dengan makam Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan
itu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: "Tidak
apa-apa" (Ahmad bin Hanbal al-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)
3. Imam Syafi'i. "Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar
Syafi'i berkata bahwa: Saya mencari berkah dengan mendatangi makam
Abu Hanifah setiap hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat
dua rakaat dan saya mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta
kepada Allah di dekat makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat
saya dikabulkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh
Baghdad I123)
4. al-Hafidz Ibnu Hajar. "al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali
al-Naisaburi berkata bahwa saya berada dalam kesulitan yang sangat
berat, kemudian saya bermimpi melihat Rasulullah Saw seolah beliau
berkata kepada saya: Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah
ampunan dan berdolah kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan.
Pagi harinya saya melakukannya dan hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI261)
5. al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dan al-Hafidz al-Dzahabi. Kedua ulama ahli
hadits ini menyebutkan tentang makam ulama shufi: “Ma’ruf al-Karkhi
wafat pada tahun 200 H, kuburnya di Baghdad dicari berkahnya.
Ibrahim al-Harabi berkata: “Makam Ma’ruf adalah obat yang mujarrab”.
(Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, II324 dan Al-Dzhabi, Tarikh
al-Islam; XIII404, dan Siyar A’lam al-Nubala’; IX343)
[
No comments:
Post a Comment