Sunday, September 20, 2020

Dalil Berdoa dengan Tawasul

Tawasul Dalam Hadist

Dalil Kesatu

Tuhan berfirman dalam al QurAn Artinya

“Jikalau mereka telah menganiaya dirinya (berbuat dosa) lantas datang kepadamu (hai Rasulullah), lalu mereka memohon am pun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan am pun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (An Nisa’: 64).

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa sekalian orang yang telah terlanjur membuat dosa apabila mereka datang kepada Rasul, mints ampun kepada Allah di hadapan Rasul dan Rasul meminta ampunkan pula, maka orang itu akan diterima taubatnya karena Allah Maha Penyantun dan Maha Penerima Taubat. Dalam ayat ini jelas bahwa minta ampun kepada Allah di hadapan Nabi adalah perbuatan ta’at yang diredhai-Nya.

Orang yang bertaubat boleh minta ampun kepada Tuhan di rumah sendiri, di mesjid atau di mana is suka. Tetapi kalau minta ampun kepada Tuhan di hadapan Nabi adalah lebih baik dan dijamin akan diterima oleh Tuhan sesuai dengan ayat ini. Datang kepada Rasul dan taubat di hadapannya, itulah yang dinamakan tawassul dengan Nabi.

Jangan salah tafsir, mereka bukan minta ampun kepada Nabi, tetapi meminta ampun kepada Tuhan di hadapan Nabi.

Adapun Nabi meminta ampunkan pula kepada Allah, maka itu adalah lebih baik lagi karena beliau telah menolong sahabatnya.

Diambil kesimpulan dari ayat ini, bahwa kalau seseorang yang telah bersalah melakukan dosa, boleh datang kepada gurunya dan taubat kepada Allah di hadapan guru itu, dan guru itu meminta ampunkan pula. Insya Allah taubat itu akan dikabulkan Tuhan.

Hal yang serupa ini dinamakan tawassul dengan guru, bukan minta ampun kepada guru atau menyembah kepada guru.

Begitu juga ke makam Rasulullah dan minta ampun di situ di hadapan Rasulullah kepada Allah.

Hal ini adalah sangat baik sebab Nabi Muhammad itu walaupun ia sudah wafat tetapi pangkat ke-Rasulannya tidak habis dengan wafatnya itu. Apalagi menurut i’itiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Nabi Muhammad Saw. hidup dalam kuburnya dan mendengar salam orang yang memberi salam kepada beliau.


Dalil Kedua

Tersebut dalam Shahih Bukhari, begini:

Artinya
“Dari Anas (bin Malik), bahwasanya ‘Umar bin Khatab Rda. adalah apabila terjadi kemarau, minta hujan ia dengan Abas bin Abdul Muthalib, maka beliau berkata : “Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi – lihat Sahih Bukhari I hal. 128 dan Baihaqi (Sunan al Kubra) II hal. 352).

Dapat diambil kesimpulan dari Hadits ini

Saidina Umar bin Khatab sahabat Nabi yang utama dan Khalifah Nabi yang kedua pernah mendo’a bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw. untuk mohon kepada Allah minta diturunkan hujan pada musim kemarau. Kita ummat Islam disuruh oleh Nabi Muhammad Saw. dalam hadits beliau supaya mengikuti Saidina Abu Bakar dan Saidir.a Umar sesudah beliau meninggal.

Dan Nabi pernah mengatakan bahwa “kebenaran itu dijadikan Tuhan dalam ucapan Saidina Umar”.

Dan lagi pada waktu Saidina Umar bertawassul dengan Nabi, maka Nabi Muhammad Saw. tidak melarangnya, tetapi membenarkannya. Ini suatu bukti bahwa do a dengan bertawassul adalah suatu ibadat yang baik. Bukan saja Saidina Umar bertawassul dengan Nabi, tetapi juga dengan paman Nabi Saidina Abbas bin Abdil Muthalib Rda. Ini suatu bukti bahwa bertawassul itu boleh dengan orang yang lebih rendah walaupun ada yang lebih tinggi. Artinya kita bukan saja boleh bertawassul dengan Nabi, tetapi juga boleh dengan ulama-ulama dan orang-orang saleh lainnya.

Hujan yang diminta dengan do’a yang bertawassul itu dikabulkan Tuhan, sehingga dikatakan dalam hadits ini “fayusquun “.

Awas supaya diperhatikan benar-benar bahwa Saidina ‘Umar bukan minta hujan kepada Nabi atau kepada Abbas, tetapi kepada Allah dan Nabi Muhammad Saw. atau Abbas Rda. adalah sebagai orang yang dipakai dalam tawassul karena beliau-beliau itu keduanya adalah kekasih Allah.


Dalil ketiga

Tersebut dalam kitab Falhul Bari fi Syarhil Bukhari, karangan Ibnu Hajar al Asqalani (juzu’ III pagina 148), begini:

Artinya:
“Dari Anas (bin Malik) beliau berkata : Datang seorang laki-laki Badui kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia berkata “Hai Rasulullah, kami datang kepadamu karena tidak ada lagi orang yang meringis, tiada lagi bayi yang mendengkur, kemudian ia membacakan sebuah sya’ir kuno (yang dulu digubah oleh Abu Thalib bapak Saidina ‘Ali), yang artinya Kecuali kepadamu tak ke mana kami akan pergi, ke manakah manusia akan minta bantuan kalau tidak kepada Rasul Ilahi ? Mendengar permintaan itu Nabi lantas berdiri menarik selendang beliau dan lantas naik mimbar lalu mendo’a : Ya Allah, turunkanlah hujan”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Dalail) .

Dapat diambil pengertian dari hadits ini :

1. Di waktu terjadi kemarau, para sahabat Nabi datang kepada beliau untuk minta hujan, Mereka tidak langsung memohon kepada Allah, tetapi datang kepada Nabi dengan meminta agar Nabi mendo’akan kepada Allah. Ini namanya bertawassul dengan Nabi, sedang Nabi tidak membantah dan tidak pula mengatakan supaya orang itu mendo’a saja langsung kepada Allah dan tidak perlu datang kepadanya.

2. Nabi Muhammad Saw. juga tidak marah mendengar sya’ir yang dibaca oleh seorang laki-laki Badui itu, yang mengatakan bahwa kalau keadaan sulit tidak ada tempat kembali melainkan kepada Rasul Ilahi.

3. Nabi tahu bahwa para sahabatnya yang membaca sya’ir itu bukan menganggap beliau Tuhan, hanyalah ucapan “majaz”, yakni pada lahirnya atau pada adatnya tidak ada tempat kembali melainkan ia.

4. Ucapan ini bukan syirik (kafir) tetapi ucapan majaz yang biasa diucapkan oleh setiap orang sehari-hari.

5. Dalam hadits ini juga dapat dipetik bahwa boleh “istigatsah” (minta tolong kepada manusia) kalau seseorang dapat kesulitan, umpamanya dengan mengatakan : Hai teman bebaskanlah saya dari kesulitan tolonglah saya dan lain-lain ucapan yang sama. Jadi tidaklah terlarang kalau ada orang Islam dalam ucapannya setiap hari apabila mendapat kesulitan mengatakan : Ya Allah, Ya Rasulullah!

6. Pokoknya asal tidak dii’itiqadkan bahwa Nabi Muhammad itu sama dengan Tuhan.

7. Walaupun hadits ini tidak sekuat hadits Bukhari, tetapi membantu ha1dits Bukhari yang kuat sehingga menjadi bertambah kuat.


Dalil Keempat

Tersebut dalam kitab hadits “Sunan Ibnu Majah” begini:

Artinya
“Bahwa seorang laki-laki sakit mata datang kepada Nabi Muhammad Saw., maka ia berkata : Mohonkanlah kepada Tuhan supaya la menyehatkan aku! Maka Nabi menjawab : Kalau engkau mau nanti sajalah, tetapi kalau engkau mau (sekarang juga) saya do’akan. Lakl-laki itu menjawab : Mohonkanlah do’a sekarang Juga. Lalu Nabi menyuruh ia berwudhu’ dan sembahyang dua raka’at dan berdo’a dengan do’a ini:

Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad, Nabi yang Penyayang. Hai Muhammad, saya menghadap kepada Tuhan dengan engkau tentang permintaan saya ini, perkenankanlah. Ya Allah, beri syafa’atlah ia kepadaku” (Hadits riwayat Ibnu Majah dan ia berkata, ini had its sahih) lihat Sunan Ibnu Majah jilid I pagina 418-419 dan disalin oleh Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Ban Juzu’ III, pagina 148).


Dalil Kelima

Tersebut dalam kitab-kitab hadits

Artinya:
“Dari sahabat Nabi Abu Sa’id al Khudhri, beliau berkata : Berkata Rasulullah Saw.: Barangsiapa ke luar dari rumahnya hendak pergi sembahyang, maka ia mendo’a : Ya Allah saya minta kepada Engkau dengan hak sekalian orang yang telah meminta kepada Engkau dan dengan hak perjalanan says ini, says tidak ke luar untuk mengerjakan kejahatan, saya tidak takabur dan ria dan tidak ada pula mengharap pujian, saya ke luar karena takut kepada Engkau dan mengharapkan keredhaan Engkau. Saya minta kepada Engkau bahwa Engkau pelihara saja dari inereka dan Engkau ampuni dosa saya karena tiada yang akan mengampuni selain Engkau Aku ampuni ia, kata Tuhan.” (Hadits sahih diriwayatkan oleh lbnu Majah dengan sanad yang sahih – Sunan Ibnu Majah 1 hal. 361-362).

Kalimat-kalimat “dengan hak orang yang meminta kepada Engkau” dan “dengan hak perjalanan saya ini” adalah tawassul dengan aural ibadat orang lain dan amal ibadat kita sendiri. Hadits itu diterangkan juga oleh Hafizh Suyuthi dalam kitab al-Jamius Kabir, Ibnus Sani dari Bilal, Imam Baihaqi, Abu Naim dari Said al Khudhri


Dalil Keenam

Tersebut lagi dalam kitab Hadits yang artinya begini

Artinya:
“Dan sahabat Nabi Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. berkata dalam do’a beliau begini : Ya Allah, ampunilah Fatimah binti Asad dan lempangkanlah tempat masuknya (ke kubur) dengan hak Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum saya. Engkau yang paling panjang dari sekalian yang panjang”. (Had its riwayat Imam Thabrani – lihat kitab Syawahidul haq hal. 154).

Hadits ini diriwayatkan juga oleh lbnu Habban dan al Hakirn vang mana keduanya behau itu mtngatakan bahwa hadits iru adalah hadits yang sahih. Saidina Muhammad Saw. bertawassul dalam do’a ini dengan diri beliau sendiri sebagai Nabi dan dengan Nabi yang lain sebelumnya yaitu perkataan beliau bihaqqi Nabiyika wal Anbiya alazdina min qabli’.

Kalau ada orang yang memfatwakan bahwa bertawassul itu syirik, maka ia langsung telah menuduh Nabi Muhammad Saw. dan orang-orang Islam pengikut Nabi dengan syirik. Na’udzubillah !


Dalil Ketujuh

Tersebut dalam hadits Bukhari dan Muslim, begini

Artinya
“Dan Ibnu ‘Umar Rda., dari Nabi Muhammad Saw. beliau menceritakan : Adalah tiga orang berjalan ke luar kota, tiba-tiba hujan turun, maka mereka ketiganya masuk berlindung ke dalam sebuah gua pada suatu bukit. Kebetulan kemudian batu besar jatuh menutupi pintu gua mereka. Salah seorang di antara mereka berkata kepada kawannya : Berdo’alah kepada Tuhan dengan berkat amal saleh yang engkau kerjakan. Lalu salah seorang dari pada merekn berdo’a : Ya Allah, dahulu ada dua orang ibu-bapa saya yang sudah tua. Saya keluar menggembala dan saya perah susu gembalaanku lalu saya bawa susunya pulang. Saya beri minum ibu-bapak, anak-anakku, familiku dari isteriku dengan susu itu. Pada suatu hari saya terlambat pulang, saya dapati ibu-bapaku sudah tidur, saya tidak suka mengagetkan mereka dengan memhbngunkannya, padalial anak-anak bertangisan minta susu di bawah kakiku. Begitulah saya hingga sampai pagi.

Ya Allah, kalau Engkau tahu bahwasanya saya memperbuat amal itu karena semata-mata karena ntengharapkan keredhaan Engkau, maka bukalah pintu gua ini sehingga kami dapat melihat langit. Maka pintu gua dibukakan oleh Tuhan sepertiganya” (Hadits sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim – lihat Sahih Bukhari II hal 17- 18).

Orang yang berdua lagi berdo’a pula dengan do’a-do’a yang bertawassul juga sehingga pintu gua terbuka seluruhnya.

Dalam hadits ini dapat diambil kesimpulan

1. Hadits ini adalah hadits yang kuat untuk dijadikan dalil atas sunnatnya berdo’a dengan tawassul.

2. Pengarang kitab “Al Lulu wal Marjan fi Mattafaqa alaihis-Syaikhan” Foad al Baqi, memberi judul akan hadits ini dengan perkataan “Bab kessah ahli gua yang bertiga dan tawassul dengan amal saleh.” (Al Lulu’ wal Marjan jilid 1I1 pagina 305).

3. Kissah ini diceritakan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan tujuan supaya ummat beliau mengerjakan ibadat sebagaimana ahli gua itu di mana kalau mereka mendapat kesulitan-kesulitan.

4. Dalam do’a ini bertawassul dengan amal saleh.

5. Do’a bertawassul dikabulkan Tuhan.

6. Bertawassul boleh dengan Nabi-nabi, boleh dengan “jah” Nabi dan “jah” ulama-ulama dan juga boleh dengan “amal saleh” yang pernah dikerjakan.


Dalil Kedelapan

Di dalam al Quran ada sebuah ayat yang bunyinya begini

Artinya
Dan setelah datang kepada mereka Kitab (al Quran) dari Tuhan di mana Kitab itu membenarkan Kitab yang ada di tangan mereka, yaitu kitab Taurat, padahal mereka pada masa dulunya (sebelum datang Nabi Muhammad) minta pertolongan kemenangan untuk mengalahkan orang-orang kafir. Tetapi manakala telah datang apa yang mereka telah ketahui, engkar pula kepadanya, maka kutuk (la’nat) Tuhan atas orang yang kafir itui. (Al Baqarah 89).

Ayat di atas menceritakan halnya orang Yahudi yang tidak mau iman kepada Nabi Muhammad Saw., pada hal dahulu sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir ke dunia mereka selalu mendo’a kepada Tuhan bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw, yang akan lahir memohon untuk mengalahkan musuh mereka dalam peperangan.

Akan tetapi setelah Nabi Muhammad Saw. benar-benar datang, mereka tidak iman dengan beliau. Orang ini dikutuk oleh Tuhan karena tidak imannya itu.

Dalam memberikan tafsir dari ayat ini, Syeikh Abdul Jail Isa bekas guru Kulliyah Usuluddin dan Bahasa’Arab pada Universitas Azhar Kairo, menerangkan:

Artinya
“Mereka minta kemenangan dari Allah melawan orang musyrik dengan herkat Nabi Besar yang ditunggu” (Mushaf al Murassar, pagina 17).

Dari ayat ini dapat diambil pengertian

1. Mendo’a dengan tawassul itu telah dikerjakan oleh ummat yang terdahulu dengan maksud untuk memperkuat permohonannya kepada Tuhan.

2. Do’a dengan tawassul dikabulkan Tuhan.

3. Mendo’a dengan tawassul itu baik sehingga dikabarkan oleh Tuhan di dalam al Quran.

4. Yang tidak baik adalah orang Yahudi yang telah tahu akan kedatangan Nabi Muhammad dari kitab Tauratnya dan mengetahui bahwa Nabi Muhammad itu orang yang dikasihi Tuhan yang dapat dimanfa’atkan untuk bertawassul dengannya dalam memohon kepada Tuhan, tetapi setelah benar-benar Nabi Muhammad datang, mereka engkar kepadanya. Karen engkarnya itu mereka dikutuk oleh Tuhan.

Berkata Syeikh Husen bin Makhluf al ‘Adawi bekas Wakil Direktur Universitas al Azhar di Kairo, begini:

“Ayat ini turun mengabarkan hal ihwal orang Yahudi keturunan kitab, yaitu Bani Quraizah dan Bani Nadhir yang ketika berperang melawan suku Aus dan Khazraj yang kafir. Mereka membuka kitab Taurat dan meletakkan tangannya di atas tulisan “Nahi yang akan lahir akhir zaman” dalam Taurat itu. Mereka mendo’a : Ya Allah, dengan berkat Nabi yang Engkau janjikan akan keluar akhir zaman, menangkanlah peperangan kami in! Kemudian mereka memperoleh kemenangan dalam peperangan berkat kebesaran Nabi Muhammad Saw. tetapi sayang sekali karena kemudian setelah Nabi lahir sebagiannya orang Yahudi tidak mau iman kepada Nabi”. (Hukum tawassul dengan Nabinabi dan Wali-wali- pagina 165).


Dalil Kesembilan

Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Baihaqi, dua orang ahli hadits yang terkenal, bahwa seorang pria datang berulang-ulang mau menghadap Saidina Utsman bin Affan (pada ketika beliau menjabat Khalifah).

Saidina Utsman bin Affan tidak memperhatikan hal orang ini sehingga ia tidak dapat berjumpa dengan Khalifah.

Pria ini mengadu kepada Utsman bin Hanif (sahabat Nabi yang tersebut kisahnya dalam dalil keempat).

Utsman bin Hanif berkata kepada pria tadi : Bawalah kemari tempat berwudhu’ dan berwudhu’lah engkau. Kemudian datanglah ke mesjid dan sembahyang di sana. Sesudah sembahyang bacalah do’a

Artinya
“Ya Allah, saya bermohon dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nahi yang memhauwa rahmat. Hai Muhammad, saya mnenghadapkan mukaku dengan engkau kepada Tuhan, supaya permintaan saya diterima”. Yang mendo’a menyebutkan apa yang dimintanya itu.

Pria ini mengerjakan apa yang diajarkan oleh Utsman bin Hanif dan sesudah itu lalu ia datang kepada Khalifah Saidina Utsman bin Affan, di mana ia lantas dengan mudah berjumpa dengan Khalifah dan menyampaikan maksudnya.

Kemudian pria ini berjumpa dengan Utsman bin Hanif dan menanyakan apakah ada membicarakan persoalannya dengan Khalifah, karena kedatangannya yang akhir diterima dengan mudah.

Utsman bin Hanif menerangkan bahwa ia tak pernah berjumpa dan membicarakan dengan Khalifah tentang soal pria itu. Utsman bin Hanif menceritakan seterusnya bahwa seorang laki-laki dulu yang buta matanya datang kepada Rasulullah minta syafa’at (bantuan) supaya sakit matanya hilang, lalu Utsman bin Hanif mengajarkan hadits (yang tersebut dalam dalil keempat).

Nah, demikianlah cerita seorang pria dengan Utsman bin Hanif. Dengan ini dapat diambil kesimpulan dan pengertian

1. Utsman bin Hanif semasa Nabi hidup, diajarkan do’a tawassul oleh Nabi.

2. 20 tahun kemudian Utsman bin Hanif mengajarkan do’a itu lagi kepada seorang laki-laki yang mendapat kesulitan dalam menghubungi Khalifah untuk suatu persoalannya. Laki-laki itu mendapat manfa’at dan do’a yang diperolehnya dari Utsman bin Hanif dan ia dengan mudah dapat menghubungi Khalifah untuk menyampaikan maksudnya.

3. Bertawassul itu boleh dilakukan dengan orang yang masih hidup dan boleh pula dengan orang yang sudah wafat.

4. Boleh bercakap-cakap dan menkhitab dengan orang yang wafat.

5. Do’a bertawassul dikabulkan Tuhan.


Dalil Kesepuluh

Tersebut dalam kitab Hadits Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah

Artinya
“Bahwasanya kemarau menimpa manusia pada zaman Khalifah Umar bin Khatab Rda. Seorang sahabat Nabi yang utama bernama Bilal bin Harits datang ke makam Nabi Muhnrnmad Saw. di Madinah dan berziarah kepada beliau. Pada ketika itu ia berkata : Hai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk ummat engkau karena mereka hampir binasa. Maka datang Rasulullah kepadanya (dalam mimpi) mengabarkan bahwa hujau akan turun”. (Hadits ditiriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih).

Dalam hadits in dapat diambil pengertian

1. Seorang sahabat Nabi yang terkemuka, yaitu Bilal bin Harits datang ziarah ke makam Nabi dan memohon kepada Nabi supaya beliau meminta dan memohonkan hujan kepada Allah.

2. Hal ini namanya tawassul, yaitu mendo’a kepada Tuhan sambil minta pertolongan kepada Nabi untuk mendo’a dan memohonkan pula kepada Allah.

3. Boleh melakukan ziarah dan boleh bertawassul dengan orang yang sudah meninggal.

4. Perbuatan sahabat-sahabat Nabi dapat dicontoh karena Nabi dalam sebuah hadits mengatakan, begini artinya “Sahabat aku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikut, kamu akan dapat hidayat.”

5. Hadits ini walaupun ada orang yang mengatakan lemah, tetapi maksudnya benar.

6. Adapun soal mimpi yang tersebut dalam hadits ini tidak dapat diambil sebagai dalil, tetapi anggaplah sebagai suatu tambahan keterangan.


Dalil Kesebelas

Telah diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab “Dalailun Nubuwah” dengan sanad yang sahih, begini

Artinya
“Berkata Rasulullah Saw. : Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam, ia bertaubat dan berkata : Hai Tuhan, saya mohon kepada-Mu dengan hak Muhammad supaya Kamu ampuni saya. Maka Tuhan menjawab : “Hai Adam, bagaimana engkau mengetahui Muhammad sedang ia belum dijadikan ? Adam rnenjawab : Hai Tuhan, setelah Engkau jadikan saya, saya mengangkat kepala melihat ke tiang Arsy di mana tertulis kalimat :

Maka saya tahu bahwa Engkau tidak akan menyertakan Nama Engkau, kecuali dengan nama orang yang Engkau kasihi. Maka Tuhan menjawab : Engkau benar hai Adam, ia adalah seorang laki-laki yang paling Aku kasihi, kalau engkau memohon kepada Aku dengan haknya, engkau Aku ampuni. Kalau tidaklah karena dia, engkau tidak akan Aku jadikan”. (Hadits riwayat Imam Baihaqi dalam kitab Dalailu Nubuyah-Imam Hakim dan Imam Thabrani – Syawahidul Haq halaman 156).

Teranglah bahwa Nabi Adam telah bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw. walaupun Nabi Muhammad Saw. belum diujudkan ke dunia ketika itu.


Dalil Keduabelas

Diceritakan suatu Kissah yang kejadian, bahwa Khalifah Abbasiyah yang ke II Manshur, naik Haji ke Mekkah dari Bagdad. Sesudah mengerjakan Haji beliau datang di Madinah untuk menziarahi makam Nabi Muhammad Saw. Pada ketika itu Imam Malik bin Anas (pembangun Madzbab Maliki) ada bersama beliau di mesjid Madinah. Khalifah Manshur bertanya kepada Imam Malik :

“Hai Abu Abdillah (gelar Imam Malik)! Sesudah ziarah dan hendak mendo’a, apakah saya harus menghadap Ka’bah atau mendo’a menghadap Rasulullah ?” Imam Malik menjawab:

Artinya
Janganlah engkau palingkan mukamu dari padanya karena beliau adalah wasilah engkau dan wasilah bapak engkau Adam kepada Allah. Menghadaplah ke padanya dan minta syafa’atlah dengan dia, maka Allah akan memberi syafa’at-Nya kepadamu. Tuhan berfirman : “Kalau manusia ini menganiaya dirinya (dengan berbuat dosa) datang menghadapmu (Hai Muhannnad), maka mereka minta ampun kepada Allah (di hadapanmu) dan Rasul meminta ampunkan pula, niscaya Allah Penerima taubat dan Penyayang”. (Lihat Syawahidul Haq halaman 156).

Cerita ini diterangkan oleh Qadhi Ijadh dalam kitab Syifa’ dan oleh Imam Qasthalan dalam kitab Muwahibuladuniyah, oleh Imam Subki dalam kitab “Syifaus Siqam fi Ziyarati Khairil Anaam” oleh Sayid Samhudi dalam kitab Khulasatul Wafa’ dan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatuz Zuwar.

Berkata Ibnu Hajar, bahwa cerita Imam Malik dan Khalifah Manshur itu adalah cerita yang sahih berdasarkan sand-sand yang baik. Kisah ini mendapat perhatian sungguh dari ulama-ulama ahli hukum syari’at karena yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah wasilah Khalifah dan wasilah Adam, adalah Imam Malik seorang ulama Islam yang terkenal, pengarang kitab Muwatha’.

Apakah kisah ini dapat dijadikan dalil, terserahlah, tetapi sekurangnya dapat diambil pengertian bahwa kisah ini untuk memperkuat hadits-hadits yang disebutkan lebih dahulu dan pula dapat diketahui bahwa Imam Malik sendiri adalah orang yang mengamalkan do’a-do’a dengan tawassul itu. Kalau kita buka kitab-kitab hadits seluruhnya niscaya kita akan mendapat banyak dalil yang membuktikan bahwa amal tawassul itu adalah amal yang dikerjakan Nabi-nabi, sahabat Nabi, Tabi in, Imam-imam yang berempat dan ulama-ulama dari dulu sampai sekarang

Rujukan:

K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid 1 cetakan ke-33, Penerbit Pustaka Tarbiyah Jakarta 2003

No comments:

Post a Comment