Tuhan itu tidak Bergerak dan tidak Diam: Diam sediam-diamnya.
Tuhan tidak Bergerak kemudian Diam; tidak pula Diam kemudian Bergerak. Tuhan Diam sediam-diamnya.
Yang Diam sediam-diamnya itulah Tuhan. Zat-lah yang merasakan ketuhanan. Bukan kita yang mau merasa ketuhanan, melainkan Zat merasakan ketuhanan.
Maka hati kita musti plong: tidak ada keinginan lagi. Bersih dari ananiyah.
Zat itu Diri bagi Sifat
Zat itu diri bagi sifat atau dirinya sifat itu Zat.
Segala sifat yang ada pada kita: hidup, mengetahui, mendengar, melihat, berkata, berkuasa, berkehendak, dan sebagainya. Itu semua sifat.
Sifat kelakuan Zat itu, diri siapa yang berkelakuan?
Tentulah diri Zat. Itulah Rahasia Allah.
Rahasia Allah itu Wujud Allah.
Wujud Allah itu Diri Allah.
Kalau sudah paham, katakan saja Allah. Jangan kau katakan lagi Zat yang berkelakuan. Katakan yang sebenarnya saja: ALLAH.
Tidak syirik karena sudah kenal.
Kalau ini salah: tuntut saya di akhirat kelak pada Tuhan.
Kosong tidak ada sekutunya. Itu bukan Zat, melainkan....
Ini yang di atas sabdu.
Gunakan amal yang sebaik-baiknya, yakni Mahaesa.
Baca pelan-pelan dengan ketenangan, "karena bukan ilmu yang men-'jadi', melainkan kesadaran yang men-'jadi'."
Rasa itu tiada berjasad karena rasa tidak bisa didefinisikan begini atau begitu. Kita hanya bisa menyebut "manis" tanpa bisa mendefinisikan apa itu "manis". Itulah sebabnya rasa itu dikatakan tiada berjasad, tetapi nyata adanya.
Rasa yang tiada berjasad itulah perwujudan ruh pada kita. Kalau dibalik, sebenarnya oleh sebab keberadaan ruh pada jasad kitalah makanya kita bisa merasa.
Kalaupun mau dikatakan berjasad, ruh kita itu jasad qadim, sedangkan tubuh kita itu jasad baharu/muhaddas.
Apa buktinya rasa itu perwujudan ruh?
Buktinya, rasa dan ruh sama-sama tidak bisa didefinisikan begini atau begitu.
Kita tidak bisa menyebutkan
- bentuk ruh kita itu begini-begitu;
- warna ruh kita itu apa;
- aroma ruh kita itu bagaimana;
- ruh kita itu lembut atau kasar;
- bagian-bagian dari ruh kita itu apa saja;
- ruh kita itu pada jasad bertempat di mana.
Itulah bukti bahwa ruh itu hakikat diri pribadi kita yang tidak bisa disebut [Q.S. Al-Insān [76]:1], tetapi nuata adanya.
Rasa yang tiada berjasad itulah perwujudan ruh pada kita. Kalau dibalik, sebenarnya oleh sebab keberadaan ruh pada jasad kitalah makanya kita bisa merasa. Oleh sebab adanya ruh-lah jasad ini bisa melihat, mendengar, berkata-kata, bergerak, dsb. Dengan kesadaran ini, jadi siapa sebenarnya yang salat ketika Anda salat? Tentu ruh-lah yang salat.
Nama lain ruh ialah Zat Allâh. Jadi siapa sebenarnya yang salat ketika Anda salat? Tentu ruh/Zat Allâh-lah yang salat.
Nama lain ruh kita juga ialah Nūr Ilahi atau Cahaya Tuhan. Jadi siapa sebenarnya yang salat ketika Anda salat? Tentu Nūr Ilahi-lah yang salat.
Zat Allâh itu bukan Allâhﷻ. Sebagaimana Nūr Ilahi itu bukan Ilahi atau sebagaimana Cahaya Tuhan itu bukan Tuhan.
Tapiii....
Zat Allâh itu esa dengan Allâhﷻ. Sebagaimana Nūr Ilahi itu esa dengan Ilahi atau sebagaimana Cahaya Tuhan itu esa dengan Tuhan, Sang Pemilik Cahaya.
■ Untuk mendekatkan paham:
Matahari dengan sinarnya itu esa sebab tidak ada jeda ruang kosong yang meng-antara-i matahari dengan sinarnya.
- Tubuh kita ini esa dengan ruh kita.
- Ruh kita esa dengan Allâhﷻ.
+Jadi jasmani-ruhani kita ini esa dengan Allâhﷻ kapan pun, di mana pun, ketika melakukan apa pun.
"Jasad itu hanya tempat untuk merasa."
Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal rasa-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud.
Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal ruh-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud.
Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal Nūr Ilahi-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud.
Sebelum ini kita mengira jasad inilah yang bertakbir-rukuk-sujud, padahal Zat Allâh-lah yang sebenarnya bertakbir-ruku-sujud.
■ Sekarang kita sadar bahwa yang bertakbir-rukuk-sujud itu rasa/ruh/Nūr Ilahi/Zat Allâh yang esa dengan Allâhﷻ.
Dari kesadaran inilah mudah-mudahan kita dikaruniai Allâhﷻ mengalami sendiri rasanya hadis qudsy ini (Āmīn):
"Kif yā Muḥammad, Ana Rabbaka uṣalli."
Pembicaraan ini erat kaitannya dengan pelajaran "Sifat 20 Zat Allâh" yang disampaikan para `arif billah dan muwwahid (ulama ahli tauhid) terdahulu. Jadi jangan salah paham. Pelajaran "Sifat 20" bukanlah ajaran yang mengarahkan agar hamba merasa sama dengan Allâhﷻ atau hamba bisa jadi Allâhﷻ.
Pelajaran "Sifat 20 Zat Allâh" ialah jalan pemahaman agar kita menyadari dan merasakan keberadaan kita ini senantiasa kekal beserta Allâhﷻ di dalam dan di luar ibadah, bahkan dalam sakaratul maut.
-Arifbillah-
No comments:
Post a Comment