Saturday, September 19, 2020

MERASAKAN KETUHANAN ALLAH

La tataharraku zaratin illa bi iznillah

"Tidak bergerak satu zarah pun tanpa izin Alah."

Musti ada proses, pembersihan dengan Rasul [dengan selawat]. Inilah untuk pembersihan hati. Kedudukan hakikat itu di dalam, bukan di luar.

Penting merasakan ketuhanan itu. Bukankah Tuhan Mengetahui rasa asin, manis, tawar, dan lain-lain? Kita tahu asin, manis, tawar, dll., tapi merasa ketuhanan tidak ada. Kita melihat, tapi rasa ketuhanan dapat tidak?! Akhirnya kufur nikmat tidak itu?!

Penting merasa ketuhanan itu. Bukan kita tahu asin, manis saja, merasakan ketuhanan Allah itu penting. Itulah pembinaan Tuhan. Tauhid dzukiyah [iman rasa] itulah pembinaan Tuhan karena kita sudah diberi tahu rasa asin, manis, kecut, tawar, pahit, dsb.

Hendaklah penuh ridha karena hati merasakan banyak kufur; banyak melakukan kufur nikmat. Yang namanya ridha tidak bisa didapat dengan ilmu. Ridha didapat dengan hidayah Allah, bukan dapat diusahakan.

Kalau ridha, hati akan memandang Allah.

Mengapa orang melakukan shalat? Karena merasa butuh dengan Tuhan. Sifat itu mawjud, berdiri pada Zat Allah. Islam bukan agama syirik. Islam agama tauhid. Agama tauhid selalu menauhidkan Tuhan.

Sabda Nabi Saw., "Kalau kamu mau dicintai Allah, ikuti aku." [Q.S. Al-Imran:31]

Orang lihat, kita punya kelebihan, tapi kita tidak merasa punya kelebihan. Bersyukur kita ada dosa. Kita ini memang keturunan berdosa, tidak bisa ditolak. Sesungguhnya Allah cinta pada orang yang menyucikan dirinya zahir-batin [Q.S. Al-Baqarah:222]. Bukan Allah cinta pada orang-orang beramal.

Bersuci [Thaharah] itu zahiriyah dan batiniyah. Jangan zahir saja diberi parfum mahal-mahal. Batin juga musti bersih dan wangi.

Ujub itu merasa diri ada. Merasa ada diri. Orang banyak yang tidak tahu dalam ibadahnya lebih sering didorong oleh keinginan. Keinginan itu nafsu. Ada keinginan bertakbir, itu nafsu. Ada keinginan ruku, sujud sampai salam juga nafsu. Jadi shalatnya mengikuti perintah nafsu semua. Mau makan-minum pun ikutkan keinginan. Berjalan pun didorong oleh keinginan. Semuanya mengikuti perintah nafsu.

Kita tahu Tuhan itu Qidam atau Sedia. Musti dirasakan Tuhan itu. Bicaralah dahulu dengan yang di dalam batiniyah. "Wafii anfusikum `afalaa tubsirun [Q.S. Adz-Dzariyaat:21]," Aku sudah Sedia Ada dalam kamu. Mengapa kamu tidak mau mengenal Aku? Mengapa kamu tidak mau menghubungi Aku?

Dalam ibadah, musti dirasakan Tuhan itu Sedia Ada-Nya. Bicaralah dahulu di dalam dengan Tuhan. Nabi Saw. saja diam-diam dahulu, baru lalu berkata pada Abu Bakar r.a., "Wa laa takhafu wa laa tahzan. Innallaaha ma ana." Hendaklah kembali kepada Allah. Tidak bergerak satu zarah pun tanpa izin Allah.

Penting sekali berhubungan rasa dengan Allah. Baru berbuatlah karena Allah. Jangan berbuat karena dorongan keinginan atau nafsu. Ingat, kedudukan hakikat itu di dalam, bukan di luar. Kalau shalat, merasa dengan diri sendiri, berarti tidak mentauhidkan Allah. Yang berdiri pada kita ini Sifat [Allah] dan kita berdiri pada Zat [Allah] atau pada Rasa.

Rasa itu Zat. Zat-lah yang merasa ketuhanan itu. Rasa tidak dapat diungkapkan: itulah Zat. Perjuangkanlah rasa ketuhanan itu. Karena Zat-lah yang merasakan ketuhanan Allah.

Kita tahu rumah teman kita. Begitu sampai di rumahnya, panggil-panggil saja, dia pasti keluar menghampiri. Begitu juga, kita sudah tahu maqam Rasulullah, tahu jugalah maqam Allah. Panggil-panggilah Rasulullah itu dengan selawat. Beliau akan datang lalu berkata, "Maa haajatuka?" Apa hajat kamu? Lalu sebutlah apa hajat kamu itu sebab orang yang datang ini kepercayaan Tuhan, kekasih Tuhan yang siddiq, amanah, tabligh, fathanah. Mustahil Rasul tidak melayani umat yang memanggilnya.

Jangan kamu memanggil beliau seperti memanggil kawan kamu [Q.S. . Ber-adablah. Dengan adab yang baik, mustahil tidak dikabulkan karena kita sudah berhubungan dengan ajudan Allah. Mustahil permohonan tidak diperhatikan Allah. Inilah cara-cara orang arif billah dalam beramal. Mereka mempergunakan iman rasa [iman dzuk; tauhid dzukiyah], bukan lagi sekadar dengan iman ilmi.

Berikut ini jalan kita mempraktikan tauhid dzukiyah. Jangan teori saja, musti ada praktik juga baru dapat pembuktian nyatanya. Jangan ilmu saja, musti ada amal juga baru dapat muanaiyah-nya.

Pandang zahir, di luar jasad kita semua itu makhluk. Jangan pandang ke luar, makhluk semua. Pandang ke dalam. Jangan dari luar dibawa ke dalam. Dari dalamlah bawa ke luar. Di luar itu makhluk, di dalam itu Allah [Q.S. Al-Hijr:29 ]. Kalau ada rasa, itu wahidiyat. Kalau tidak ada rasa, itu ahadiyat. Pandanglah ke ahadiyat.

Laa qadirun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Kuasa melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan Qudrat Allah yang berlaku. Allah yang Berqudrat. Siapa merasakan dirinya yang kuasa, syirik.

Laa muriidun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Berkehendak melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan kehendak Allah semua. Siapa merasakan dirinya yang berkehendak, syirik.

Laa `aliimun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Mengetahui melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan Allah Mengetahui semua. Siapa merasakan dirinya yang berkehendak, syirik.

Laa hayyun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Hidup melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Hidup. Siapa merasakan dirinya yang hidup, syirik.

Laa sami'un illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Mendengar melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Mendengar. Siapa merasakan dirinya yang mendengar, syirik.

Laa bashirun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Melihat melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Melihat. Siapa merasakan dirinya yang melihat, syirik.

Laa mutakalimun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Berkalam melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Berkata-kata. Siapa merasakan dirinya yang berkata-kata, syirik.

Ingat, agama itu mentauhidkan, bukan men-syirikkan [Q.S. Az-Zumar:3]. Maka segala sesuatu itu bicaralah dulu di dalam dengan Allah. Karena keyakinan lahiriyah dengan keyakinan batiniyah itu tidak sama.

Nabi bersabda, "Yakinkan Allah memandang kamu!"(*)

Keyakinan orang syariat, kalau sudah mata-kepala dia sndiri yang memandang Allah, baru dia yakin dia sudah memandang Allah. Yang begini ini tidak ada beda dengan yahudi pengikut Musa a.s. yang kafir. Sedangkan keyakinan batiniyah yang benar itu: perkataan "aku" itu bukan kembali pada dirinya, melainkan kembali pada "Aku"-nya Tuhan.

-Arifbillah-

No comments:

Post a Comment