qutb wilayah kalimantan, dll. Kedua adalah qutb zaman yaitu aulia yang
menjadi pemimpin para qutb wilayah. Ketiga adalah qutb aulia yaitu yang
menjadi pemimpin semua aulia.
Tugas Wali Qutub:
Ada juga yang mengatakan Wali qutub ada beberapa seperti:
qutb aqtab yaitu qutb yang mengurusi hajat umat Sayyidina Rasulullah di dunia, kemudian ada qutb bilad yang mengurusi hajat umat Sayydina Rasulullah di akhirat, ada juga Qutb Mutassyarif yaitu yang mengajarkan ilmu ke seluruh aulia . Dimana para aulia ini mengajarkan kepada murid-muridnya kemudian ada Qutb Ghauts yaitu Qutb yang paling dekat dengan Sayyidina Rasulullah.
namun diantara Qutb ini ada pula pangkat Qutb yang lain, seperti Qutb
Kubro yang dipegang Imam Sayyid Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, kemudian Qutb Robbaniy yang dipegang oleh tuan guru syekh Abdul Qodir al Jailani.
Syeh Abdul Qodir jailani
Tiap aulia qutb memiliki wilayah dan waktu untuk mengayomi wilayah
tersebut, ada yang 100 tahun, 200 tahun, ada yang 500 tahun. Seperti
pangkat Qutb Akhwan yang pertama kali dipegang oleh tuan guru syekh
Samman al Madani yang wilayahnya dipegang beliau selama 200 tahun,
setelah 200 tahun maka baru ada yang menggantikan pangkat/maqom beliau.
Kalau belum 200 tahun jikalau ada yang memegang Qutb maka pangkat beliau bukanlah Qutb Akhwan.
Namun yang pasti tiap zaman (100 tahun) ada Qutb Wilayah dan Qutb Zaman yang hadir untuk mengayomi umat Sayyidina Rasulullah. Seperti pada zaman walisongo yang menjadi qutb wilayah adalah kanjeng sunan kalijaga dan yang menjadi qutb zaman adalah kanjeng sunan gunung jati dan tiap aulia yang sudah meninggal pasti ada pewarisnya sampai zaman ini.
Karena pangkat/maqom ruhani aulia itu lebih dari 100.000 (seratus
ribu) dan dari lebih dari 100.000 maqom itu aulia terbagi menjadi 3
lapisan, ada lapisan tengah dan atas maqom/tingkat, dimana tiap tingkat
memiliki “rasa” yang hanya diketahui oleh yang berada di maqom tersebut.
Setiap maqom ada pewarisnya, ada yang mewarisi jalur imam dan mewarisi jalur kewalian bahkan hingga saat ini.
Ada wali dengan maqam ini bertugas ini,
Ada juga yang mengatakan Wali qutub ada beberapa seperti:
qutb aqtab yaitu qutb yang mengurusi hajat umat Sayyidina Rasulullah di dunia, kemudian ada qutb bilad yang mengurusi hajat umat Sayydina Rasulullah di akhirat, ada juga Qutb Mutassyarif yaitu yang mengajarkan ilmu ke seluruh aulia . Dimana para aulia ini mengajarkan kepada murid-muridnya kemudian ada Qutb Ghauts yaitu Qutb yang paling dekat dengan Sayyidina Rasulullah.
namun diantara Qutb ini ada pula pangkat Qutb yang lain, seperti Qutb
Kubro yang dipegang Imam Sayyid Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, kemudian Qutb Robbaniy yang dipegang oleh tuan guru syekh Abdul Qodir al Jailani.
Syeh Abdul Qodir jailani
Tiap aulia qutb memiliki wilayah dan waktu untuk mengayomi wilayah
tersebut, ada yang 100 tahun, 200 tahun, ada yang 500 tahun. Seperti
pangkat Qutb Akhwan yang pertama kali dipegang oleh tuan guru syekh
Samman al Madani yang wilayahnya dipegang beliau selama 200 tahun,
setelah 200 tahun maka baru ada yang menggantikan pangkat/maqom beliau.
Kalau belum 200 tahun jikalau ada yang memegang Qutb maka pangkat beliau bukanlah Qutb Akhwan.
Namun yang pasti tiap zaman (100 tahun) ada Qutb Wilayah dan Qutb Zaman yang hadir untuk mengayomi umat Sayyidina Rasulullah. Seperti pada zaman walisongo yang menjadi qutb wilayah adalah kanjeng sunan kalijaga dan yang menjadi qutb zaman adalah kanjeng sunan gunung jati dan tiap aulia yang sudah meninggal pasti ada pewarisnya sampai zaman ini.
Karena pangkat/maqom ruhani aulia itu lebih dari 100.000 (seratus
ribu) dan dari lebih dari 100.000 maqom itu aulia terbagi menjadi 3
lapisan, ada lapisan tengah dan atas maqom/tingkat, dimana tiap tingkat
memiliki “rasa” yang hanya diketahui oleh yang berada di maqom tersebut.
Setiap maqom ada pewarisnya, ada yang mewarisi jalur imam dan mewarisi jalur kewalian bahkan hingga saat ini.
Ada wali dengan maqam ini bertugas ini,
Ada wali dengan maqam ini bertugas itu,
Ada wali dengan maqam itu bertugas ini,
Ada wali dengan maqam itu bertugas itu,
Ada wali dengan maqam ini bertugas ini dan itu,
Ada wali dengan maqam itu bertugas ini dan itu,
Ada wali dengan maqam tapi tanpa tugas.
Sungguh para orang soleh(termasuk sudah tentu para aulia/waliyullah)
adalah permata / perhiasan dunia dan Allah suka menghiasi dunia dengan caraNya sendiri.
Wali Kutub dan Wali Ghauts Menurut Ahli Syariat
Mereka juga mengakui bahwa ada wali yang bisa mengatur alam. Bahkan ada yang bisa menciptakan dengan ucapan: Kun, fayakun. Rinciannya, empat wali bertugas menahan alam semesta. Mereka ada di empat penjuru arah.
Yang mereka sebut dengan wali autad.
Tujuh wali, yang masing-masing ada di tujuh benua. Mereka sebut wali
abdal. Disebut wali abdal, dari kata badal yang artinya pengganti.
Karena jika ada satu yang mati maka lainnya menjadi penggantinya.
Wali yang mengatur setiap iklim dan cuaca. Di Mesir diyakini ada 30, di
Syam, Iraq juga demikian. Dan masing-masing telah ditunjuk sebagai wakil untuk menangani suasana tertentu.
Dan sekian banyak wali yang mengatur iklim dan cuaca itu, mereka dipimpin oleh satu wali, yang disebut wali kutub akbar atau wali ghauts.
Inilah yang mengatur semua urusan kejaraan (wali). Karena dalam dunia
wali itu ada kerajaan bathin. Ada aturan dan keputusan. (Mausuah
al-Firaq, ad-Durar as-Saniyah, 10/15)
Wali dalam Islam
Islam juga mengajarkan konsep wali. Hanya saja, berbeda dengan konsep
wali seperti yang dipahami orang sufi. Konsep wali yang diajarkan dalam Islam telah Allah sebutkan dalam al-Quran, pada firman-Nya, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati ( ) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 63)
Yang disebut wali Allah dalam ayat ini adalah semua orang yang beriman dan bertqwa. Sekalipun dia sama sekali tidak memiliki kesaktian. Tidak tahu hal yang ghaib, tidak mampu menyembuhkan orang sakit, apa lagi kemampuan mengendalikan alam semesta.
Ibnu Katsir mengatakan,
Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga semua orang yang bertaqwa adalah wali Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/278).
Sehingga untuk bisa menjadi wali Allah, manusia harus berjuang melakukan ketaatan agar dicintai Allah. Dengan cara, melakukan yang wajib, kemudian berusaha merutinkan yang sunah.
Dalam hadis Qudsi, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Allah berfirman,
"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun
mencintainya." (HR. Bukhari 6502)
Antara Karamah dan Istiqamah
Karamah sifatnya hibah dari Allah, dan tidak bisa diupayakan manusia.
Sementara istiqamah adalah tugas yang dibebankan Allah kepada umat
manusia. Karena itu, seharusnya yang dipikirkan manusia adalah bagaimana menjadi manusia yang istiqamah, bukan menjadi orang yang punya karamah.
Abu Ali al-Jauzajani mengatakan,
Jadilah orang yang menjaga istiqamah, bukan pencari karamah. Karena jiwamu selalu ingi mencari karamah, sementara Rabmu menuntutmu untuk istiqamah. (Syarh Aqidah Thahawiyah, hlm. 330)
Demikianlah konsep wali menurut pandangan para ahli syariah. Allahu
alam.
HADITS YANG PALING MULIA TENTANG SIFAT-SIFAT WALI-WALI AllAH
عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«إِنَّ اللهَ تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ
بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ
يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ
لَأُعِيْذَنَّهُ».
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman,
’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan
Ada wali dengan maqam itu bertugas itu,
Ada wali dengan maqam ini bertugas ini dan itu,
Ada wali dengan maqam itu bertugas ini dan itu,
Ada wali dengan maqam tapi tanpa tugas.
Sungguh para orang soleh(termasuk sudah tentu para aulia/waliyullah)
adalah permata / perhiasan dunia dan Allah suka menghiasi dunia dengan caraNya sendiri.
Wali Kutub dan Wali Ghauts Menurut Ahli Syariat
Mereka juga mengakui bahwa ada wali yang bisa mengatur alam. Bahkan ada yang bisa menciptakan dengan ucapan: Kun, fayakun. Rinciannya, empat wali bertugas menahan alam semesta. Mereka ada di empat penjuru arah.
Yang mereka sebut dengan wali autad.
Tujuh wali, yang masing-masing ada di tujuh benua. Mereka sebut wali
abdal. Disebut wali abdal, dari kata badal yang artinya pengganti.
Karena jika ada satu yang mati maka lainnya menjadi penggantinya.
Wali yang mengatur setiap iklim dan cuaca. Di Mesir diyakini ada 30, di
Syam, Iraq juga demikian. Dan masing-masing telah ditunjuk sebagai wakil untuk menangani suasana tertentu.
Dan sekian banyak wali yang mengatur iklim dan cuaca itu, mereka dipimpin oleh satu wali, yang disebut wali kutub akbar atau wali ghauts.
Inilah yang mengatur semua urusan kejaraan (wali). Karena dalam dunia
wali itu ada kerajaan bathin. Ada aturan dan keputusan. (Mausuah
al-Firaq, ad-Durar as-Saniyah, 10/15)
Wali dalam Islam
Islam juga mengajarkan konsep wali. Hanya saja, berbeda dengan konsep
wali seperti yang dipahami orang sufi. Konsep wali yang diajarkan dalam Islam telah Allah sebutkan dalam al-Quran, pada firman-Nya, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati ( ) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 63)
Yang disebut wali Allah dalam ayat ini adalah semua orang yang beriman dan bertqwa. Sekalipun dia sama sekali tidak memiliki kesaktian. Tidak tahu hal yang ghaib, tidak mampu menyembuhkan orang sakit, apa lagi kemampuan mengendalikan alam semesta.
Ibnu Katsir mengatakan,
Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah mereka yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga semua orang yang bertaqwa adalah wali Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/278).
Sehingga untuk bisa menjadi wali Allah, manusia harus berjuang melakukan ketaatan agar dicintai Allah. Dengan cara, melakukan yang wajib, kemudian berusaha merutinkan yang sunah.
Dalam hadis Qudsi, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Allah berfirman,
"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun
mencintainya." (HR. Bukhari 6502)
Antara Karamah dan Istiqamah
Karamah sifatnya hibah dari Allah, dan tidak bisa diupayakan manusia.
Sementara istiqamah adalah tugas yang dibebankan Allah kepada umat
manusia. Karena itu, seharusnya yang dipikirkan manusia adalah bagaimana menjadi manusia yang istiqamah, bukan menjadi orang yang punya karamah.
Abu Ali al-Jauzajani mengatakan,
Jadilah orang yang menjaga istiqamah, bukan pencari karamah. Karena jiwamu selalu ingi mencari karamah, sementara Rabmu menuntutmu untuk istiqamah. (Syarh Aqidah Thahawiyah, hlm. 330)
Demikianlah konsep wali menurut pandangan para ahli syariah. Allahu
alam.
HADITS YANG PALING MULIA TENTANG SIFAT-SIFAT WALI-WALI AllAH
عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«إِنَّ اللهَ تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ
بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ
يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ
لَأُعِيْذَنَّهُ».
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman,
’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta
kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan
kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”
Kelengkapan hadits ini adalah:
وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyâ’ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra,
III/346; X/219 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, dan lainnya
Setelah membawakan hadits ini, al-Baghâwi t mengatakan, “Hadits ini
shahih.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Rabb-nya. Kemudian beliau t bawakan hadits di atas.[1]
Hadits ini –walaupun diriwayatkan oleh Bukhâri rahimahullah dalam kitab Shahîhnya- termasuk hadits yang diperbincangkan para ulama karena ada rawi yang lemah. Namun hadits ini shahih karena ada syawâhid (penguat-penguat)nya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1640.
SYARAH HADITS
ath-Thûfi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas tentang jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan metode supaya bisa mengenal dan meraih cinta-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsân, semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga
terkandung dalam hadits Jibril Alaihissallam. Dan ihsân menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud, ikhlas, muraqabah, dan lainnya.[2]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas) : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.”
Maksudnya, “Sungguh Aku mengumumkan kepadanya bahwa Aku memeranginya karena ia memerangi-Ku dengan memusuhi wali-wali-Ku.” Jadi, wali-wali
Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi, sebagaimana musuh-musuh Allâh wajib dimusuhi dan haram dicintai.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia … ” [al-Mumtahanah/60:1]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolong (wali)mu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh).
Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang beriman
sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allâh itulah yang menang.” [al-Mâidah/5:55-56]
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan mereka mencintai-Nya yaitu rendah hati terhadap kaum mukminin dan tegas terhadap orang-orang kafir.
Ketahuilah, bahwa segala bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi Allâh Azza wa Jalla , semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan, semakin keras pula permusuhannya terhadap Allâh. Karena itulah Allâh menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang
memerangi Allâh dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezhaliman mereka kepada hamba-hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di bumi.
Demikian pula orang yang memusuhi para wali Allâh Azza wa Jalla . Mereka itu telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5]
SIFAT DAN CIRI-CIRI WALI-WALI ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh
itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/10:62-63]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sifat para wali-Nya.
Pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan kedua, mereka bertakwa
kepada Allâh Azza wa Jalla .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا …
Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka…[6]
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Maksud wali Allâh adalah
orang yang mengenal Allâh, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya.”[7]
Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dalam
ayat lain, Allah k menjelaskan bahwa para wali Allâh itu bertingkat-tingkat. Allâh berfirman, yang artinya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/35:32]
Tingkatan-Tingkat Itu Adalah :
Pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku
dosa-dosa. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka yang melalaikan
sebagian hal-hal yang wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.”
Kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan hal-hal yang wajib, menjauhi yang haram, namun mereka meninggalkan yang sunat dan terjatuh pada yang makruh.
Ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu
melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh.
Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul
’Alaihimus shalatu wassalam. Dan setelah mereka adalah para sahabat
Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Muhammad adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih
yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [al-Fath/48:29]
Para sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan perwalian kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa ingin meraih ridha Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan mereka.
Wali-wali Allâh mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Para wali Allâh tidak
memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah. Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian biasa, dan betapa banyak zindiq yang memakai pakaian bagus.”[8]
Para wali Allâh tidak ma’shûm (terjaga dari dosa). Mereka manusia biasa terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa. Allâh Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” [az-Zumar/39:33-35]
Ayat ini memberi gambaran tentang wali-wali Allâh, yaitu Allâh akan
memberi pahala yang lebih baik dari amalan mereka. Ini merupakan balasan atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang berlaku salah dan
dosa. Diantara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah terjadinya peperangan diantara mereka dan juga ijtihad-ijtihad mereka yang terkadang keliru. Dan ini sudah diketahui oleh mereka yang sering membaca perkataan-perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan
yang lainnya.[9]
Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan untuk mendo’akan kebaikan untuk mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa, ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-ssaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang.” [al-Hasyr/59:10]
Para shahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh
Ta’ala dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fath ayat 29.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya,
“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada dengan hal-hal yang Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”
Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memerangi-Nya, selanjutnya Allâh menjelaskan sifat para wali-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan apa yang dapat
mendekatkan seorang hamba kepada-Nya.
Wali-wali Allâh ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri
kepada-Nya dengan segala yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya.
Sebaliknya, musuh-musuh Allâh ialah orang-orang yang dijauhkan dan
terusir dari rahmat Allah Azza wa Jalla sebagai akibat amal perbuatan
mereka.
Allâh Azza wa Jalla membagi para wali-Nya menjadi dua kelompok :
Pertama, yang mendekatkan diri dengan melaksanakan hal-hal wajib. Ini mencakup melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, sebab semuanya itu termasuk melaksanakan yang diwajibkan oleh Allâh kepada
para hamba-Nya.
Kedua, yang mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunat setelah amalan-amalan wajib.
Dengan jelas bahwa tidak ada bisa mendekatkan kepada Allâh, menjadi
wali-Nya, dan meraih kecintaan-Nya kecuali dengan menjalankan ketaatan yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jika ada yang mengklaim dirinya meraih derajat wali dan dicintai Allâh Azza wa Jalla tetapi tidak jalan ini, maka jelas ia dusta. Seperti kaum musyrik yang mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allâh. Seperti dikisahkan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka, yang artinya, “…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ”Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya…” [az-Zumar/39:3]
Dan Allâh mengisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengklaim mereka anak-anak dan kekasih Allâh Azza wa Jalla , padahal mereka terus-menerus mendustakan para rasul, mengerjakan larangan-Nya
serta meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu dalam hadits di atas,
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa wali-wali Allah itu terbagi dalam dua tingkatan :
Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri dengan mengerjakan hal-hal yang wajib. Ini tingkatan al-muqtashidîn (pertengahan) atau golongan kanan. Mengerjakan amalan fadhu adalah amalan terbaik. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sebaik-baik amal ialah
menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .”
’Umar bin ’Abdul ’Aziz Radhiyallahu anhuma berkata dalam khutbahnya,
”Ibadah yang paling baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan.”[11]
Karena tujuan Allâh Azza wa Jalla mewajibkan berbagai kewajiban ini
supaya para hamba bisa mendekatkan diri kepada-Nya dan agar mereka bisa meraih ridha dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .
Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba (dalam kebaikan), yaitu orang-orang yang mendekat diri dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari yang makruh dan bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan seseorang dicintai Allâh, seperti difirmankan Allâh, “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”
Dan barangsiapa dicintai Allâh, maka Allâh akan anugerahkan rasa cinta
kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir dan berkhidmat kepada-Nya.
Itu semua menyebabkannya semakin dekat dengan Allâh dan terhormat di
sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا
يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allâh mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan
orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.” [al-Mâidah/5:54]
Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa orang yang tidak cinta dan tidak berusaha mendekat kepada Allâh, maka Allâh tidak akan memperdulikannya dan tidak akan memberikannya anugrah yang agung ituyaitu rasa cinta.
Jadi, orang yang berpaling dari Allâh, ia tidak akan mendapatkan ganti
Allâh untuk dirinya sedang Allâh Azza wa Jalla mempunyai banyak
pengganti untuknya.
Barangsiapa meninggalkan Allâh Azza wa Jalla , maka ia tetap merugi.
Bagaimana tidak, karena ia hanya mendapatkan sebagian kecil dari dunia, padahal dunia dan seisinya disisi Allah k tidak lebih berharga dari satu helai sayap seekor nyamuk.
Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tentang sifat-sifat
orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, Allâh berfirman dalam al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,” maksudnya, mereka bergaul dengan kaum mukminin dengan rendah
hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan sikap keras. Karena ketika mereka sudah mencintai Allâh, maka tentu mereka juga mencintai para wali Allâh sehingga mereka bergaul dengan para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang. Mereka juga membenci musuh-musuh Allâh yang memusuhi-Nya lalu memperlakukan dengan sikap keras. Allâh berfirman :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia keras
terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
[al-Fath/48:29]
Kesempurnaan cinta seseorang kepada Allâh dibuktikan dengan memerangi musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Jihad juga merupakan wahana untuk mengajak orang-orang yang berpaling dari Allâh agar kembali setelah sebelumnya didakwahi dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, para wali Allâh
itu ingin membimbing manusia menuju pintu Allâh Azza wa Jalla .
Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu
diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits,
عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَـى الْـجَنَّةِ فِـيْ السَّلَاسِلِ
Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan dibelenggu.[12]
Diantara sifat wali Allâh yang disebutkan dalam firman-Nya
al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan yang tidak takut celaan
orang-orang yang suka mencela,” maksudnya, orang-orang yang mencintai Allâh hanya menginginkan ridhai-Nya. Ia ridha kepada siapa saja yang Allah ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, orang yang masih takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, berarti cintanya tidak benar.
Selanjutnya dalam firman-Nya al-Maidah/5:54 tersebut, Allâh Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya, “Itulah karunia Allâh yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” Karunia maksudnya ialah derajat kewalian dengan sifat-sifat yang telah disebutkan.
AMALAN-AMALAN YANG PALING BISA MENDEKATKAN KEPADA ALLAH
Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan kepada Allâh Azza wa Jalla ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lain sebagainya
termasuk banyak membaca al-Qur’ân, mendengarkannya, merenungkannya serta berusaha memahaminya. Khabbâb bin al-Art Radhiyallahu anhu mengatakan,
”Mendekatlah kepada Allâh sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah, engkau tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada firman-Nya (al-Qur’ân).”[13]
Bagi orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang lebih manis daripada membaca al-Qur’ân. Utsmân bin ’Affân Radhiyallahu anhu berkata,
”Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan pernah kenyang dengan firman
Rabb kalian.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ”Barangsiapa mencintai al-Qur’ân berarti ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[14]
Ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan kepada Allâh ialah banyak berdzikir dengan hati dan lisan. Dan diantara ibadah-ibadah sunnah lainnya yang lebih mendekatkan kepada Allâh ialah mencintai para wali Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi para musuh-Nya
karena-Nya.[15]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
Maksudnya, barang siapa bersungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ibadah-ibadah wajib lalu ibadah-ibadah sunnah, maka
Allâh akan mendekatkannya kepada-Nya dan menaikkan derajatnya dari
tingkatan iman ke tingkatan ihsân. Karenanya, ia menjadi hamba yang
beribadah kepada Allâh dengan merasa selalu diawasi Allâh sehingga hatinya penuh dengan ma’rifat (pengenalan) kepada Allâh, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan rindu kepada-Nya.
Ketika hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh, maka yang lainnya akan lenyap dari hati tersebut serta ia tidak lagi punya keinginan kecuali yang diinginkan Rabb-nya. Saat itulah, seorang hamba tidak bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh. Jika ia mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allâh Ta’ala, ” Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul (menitisnya Allâh kepada makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah mengisyaratkan kepada kekafiran.
Dan ini iermasuk salah satu rahasia tauhid, karena kalimat LAA ILAAHA
ILLALLAAH maknanya seseorang hamba tidak menuhankan selain Allâh dalam cinta, harapan, takut dan taat. Jika hati sudah penuh dengan tauhid yang
sempurna, maka tidak ada lagi kecintaan untuk mencintai apa yang tidak dicintai Allâh atau kebencian untuk membenci apa yang tidak dibenci Allâh. Barangsiapa hatinya seperti ini, maka organ tubuhnya tidak akan bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh dan ia tidak mempunyai keinginan kecuali di jalan Allâh dan pada sesuatu bisa mendatangkan ridha-Nya.[16]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta
perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang dicintai Allâh dan didekatkan
kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allâh Azza wa Jalla
sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh Azza wa Jalla , Allâh
memberikan apa yang diminta; Jika ia memohon perlindungan kepada-Nya maka Allâh Azza wa Jalla akan melindunginya; Dan jika ia berdo’a maka Dia mengabulkan do’anya. Dan kisah-kisah tentang orang yang do’anya mustajab banyak kita temukan dalam kisah-kisah generasi Salaf. Diantaranya :
1. Dikisahkan bahwa ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr memecahkan gigi depan
seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr menawarkan
diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun ditolak. Kabilah ar-Rubayyi’
binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita tersebut, lagi-lagi
kabilah wanita tersebut menolak. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan qishash. Anas bin an-Nadhr Radhiyallahu anhu berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan dipecahkan, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, gigi depannya tidak akan dipecakan.” Akhirnya,
kabilah wanita itu ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَـوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ.
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang yang jika
bersumpah kepada Allâh, maka Allâh pasti melaksanakan sumpahnya[17]
2. Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang do’anya mustajab. Suatu hari, ada seseorang membuat cerita bohong yang memojokkan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu berdo’a, ”Ya Allâh, jika orang tersebut bohong, panjangkanlah usianya
dan hadapkanlah fitnah-fitnah padanya.” Akhirnya orang itu tertimpa apa yang dido’akan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Ia mengganggu budak-budak wanita di jalan sambil berkata, ”Aku orang lanjut usia, tertimpa fitnah dan aku terkena do’a Sa’ad.”[18]
3. Seorang wanita bertengkar dengan Sa’îd bin Zaid Radhiyallahu anhu di
lahan Sa’îd bin Zaid. Wanita tersebut menuduh Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu merebut lahan tersebut darinya. Kemudian Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu berkata, ”Ya Allâh, jika wanita itu bohong,Vbutakanlah matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut buta. Dan suatu malam, ketika ia berjalan di lahannya, ia terjatuh di sumur kemudian meninggal.[19]
4. al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam salah satu detasemen kemudian anggota detasemen tersebut kehausan. Kemudian al-Ala’
bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu shalat lalu berdo’a, ”Ya Allâh, wahai
Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang Mahaagung, sesungguhnya kami hamba-hamba-Mu dan berada di jalan-Mu, kami memerangi musuh-Mu, karenanya, berikanlah kepada kami air hingga kami bisa minum dan berwudhu’ dan janganlah Engkau berikan air itu sedikit pun kepada siapa pun selain kami.” Lalu detasemen itu jalan sebentar kemudian menemukan sungai dari air hujan lalu mereka meminumnya dan mengisi wadah-wadah
mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang
dari sahabat-sahabat al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali
ke sungai tersebut, namun ia tidak melihat apa-apa di dalamnya dan
seakan di tempat itu tidak pernah ada air.[20]
Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau
disebutkan semuanya. Sebagian besar generasi salaf yang doanya
dikabulkan tetap bersabar atas musibah, memilih pahalanya, dan
mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Aku
tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.”
Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla telah menentukan kematian bagi
hamba-hamba-Nya seperti yang Dia firmankan dalam Surat Ali Imran/3:185.
Saat akan meninggal, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa bahkan sakit yang paling pedih.
’Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu, ”Jelaskan kepadaku tentang kematian!” Ka’ab Radhiyallahu anhu berkata, ”Wahai Amîrul Mukminîn, kematian itu ibarat pohon besar dan banyak durinya yang masuk ke kerongkongan seorang manusia, sehingga
duri-duri itu menancap pada urat-uratnya, kemudian pohon itu ditarik
keluar oleh orang yang kuat. Tercabutlah apa yang tercabut, dan
tertinggal apa yang tertinggal.” Kemudian ’Umar z menangis.[21]
Ketika ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal, anaknya
bertanya tentang ciri-ciri kematian. ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu
menjawab, ”Demi Allâh, kedua lambungku seakan berada di suatu tempat, aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan seakan ada ranting berduri ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[22]
Ketika kematian sangat menyakitkan seperti itu, padahal Allâh telah
menetapkannya untuk seluruh hamba-Nya dan itu mesti terjadi sementara Allâh Mahatinggi juga tidak suka menyakiti orang mukmin, oleh karena itu Allâh menamakan hal ini sebagai keragu-raguan terkait dengan orang Mukmin. Sedangkan para nabi, mereka tidak meninggal sehingga mereka diberi hak memilih.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَلَـكِنَّ الْـمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْـمَوْتُ ، بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّـهِ وَكَرَامَتِهِ ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِـمَّـا أَمَامَهُ ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّـهِ وَأَحَبَّ اللَّـهُ لِقَاءَهُ
…Akan tetapi seorang mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi kabar gembira tentang keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya. Karenanya, tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai daripada apa yang ada di depannya. Ia merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya.[23]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan makna at-taraddud (ragu-ragu) dalam hadits di muka, “Ini adalah hadits yang paling mulia yang menjelaskan sifat-sifat para wali Allâh. Para Ahli Kalam menolak hadits ini dan mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak boleh dinyatakan memiliki sifat ragu. karena orang yang ragu adalah orang yang tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh
Mahamengetahui akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari mereka (Ahli kalam) mengatakan bahwa Allâh diperlakukan dengan perlakuan
yang penuh keraguan!
Penjelasannya yang sebenarnya adalah, sabda Rasûlullâh adalah benar dan tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allâh, lebih sayang terhadap umat, lebih fasih dan lebih gamblang penjelasannya dibandingkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kalau begitu, maka orang yang mengingkarinya termasuk orang yang paling sesat, paling bodoh dan paling buruk akhlaknya. Orang seperti itu wajib diberi pelajaran dan dihukum
sebagai ta’zîr (peringatan supaya jera). Yang wajib (diperhatikan),
bahwa kita wajib menjaga sabda Rasûlullâh dari sangkaan batil dan
keyakinan yang rusak.
Akan tetapi orang yang ragu-ragu diantara kita, meskipun keragu-raguannya dikarenakan dia mengetahui akibat dari sebuah perkara, maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh dengan sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allâh. Kemudian, ini juga bathil, karena keraguan seseorang
terkadang disebabkan ketidaktahuannya terhadap akibat dari sesuatu, dan terkadang juga karena dua perbuatan tersebut mengandung maslahat dan
mafsadat. Dia ingin melakukannya karena ada maslahatnya dan (pada saat yang sama) dia tidak mau melakukannya karena ada mafsadat (bahaya)nya.
(Disini dia ragu) bukan karena dia tidak tahu tentang sesuatu yang
dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.
Yang seperti ini sama dengan keinginan orang sakit untuk minum obat yang tidak ia sukai. Bahkan, semua amal shaleh yang diinginkan seorang hamba tapi tidak disukai oleh jiwa termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka
dikelilingi oleh syahwat [24]
Dan juga firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal itu tidak menyenangkan bagimu…” [al-Baqarah/2:216]
Dari penjelasan di atas maka makna at-taraddud (keragu-raguan) yang
disebutkan dalam hadits menjadi jelas bagi kita. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi diatas), “Hambaku tiada henti-hentinya mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.” Sesungguhnya orang yang seperti ini keadaannya, ia akan
dicintai oleh Allâh dan dia cinta kepada Allâh. Ia akan mendekatkan diri kepada Allâh dengan mengerjakan amalan wajib dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan sunnah yang Allâh cintai berikut pelakunya.
Hamba itu telah mengerjakan apa-apa yang dicintai oleh Allah dengan
segenap kemampuannya, maka Allâh akan mencintainya karena pekerjaan
hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan yang sama, dimana Allâh
mencintai apa-apa yang dicintai hamba-Nya, dan membenci apa-apa yang dibenci hamba-Nya. Allâh juga benci terhadap kejelekan yang menimpa hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh membenci kematian agar bertambah kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi. Allâh menginginkan kematian hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Namun Allâh juga tidak mau menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Sehingga, dari
satu sisi, kematian itu adalah suatu yang dikehendaki tapi disisi lain
ia tidak disukai. Inilah hakikat at-taraddud (keraguan) itu yaitu mengiinginkan sesuatu dari satu sisi dan membenci sesuatu itu dari sisi
yang lain, meskipun akhirnya harus memilih satu dari dua sisi tersebut.
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla memilih untuk menguatkan keinginan untuk mematikan (hamba-Nya yang mukmin) meski dibarengi dengan rasa tidak ingin menyusahkan hamba-Nya. Dan keinginan Allâh Azza wa Jalla untuk
mematikan hamba-Nya yang mukmin yang dicintai-Nya dan tidak ingin
disakiti jelas tidak sama dengan keinginan Allâh untuk mematikan orang kafir yang dibenci-Nya dan ingin disakiti.[25]
FAWAA-ID HADITS
1. Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
2. Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.
3. Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal wajib.
4. Di antara sebab mendapatkan cinta Allâh adalah melaksanakan amalan wajib dan sunnah.
5. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh.
6. Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan amalan wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
7. Ancaman bagi orang yang memusuhi para wali Allâh.
8. Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan mengolok, mengganggu, menyiksa, menyakiti atau membenci mereka, dia akan mendapat siksa di dunia dan akhirat.
9. Seorang hamba –betapapun tinggi derajatnya-, dia tidak boleh berhenti
berdo’a, memohon kepada Allâh, karena yang demikian lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan kepada Allâh.
10. Mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amalan wajib dan sunnah sebagai sebab terkabulkannya do’a, dijaga dan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla .
11. Di antara para wali Allâh, ada yang diberi karamah (kemuliaan)
dengan do’anya mustajab, dijaga, dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla dan karamah lainnya.
12. Dalam hadits ini tidak ada sedikitpun dalil atau hujjah bagi
kelompok sesat yang berpendapat bahwa Allâh menyatu dalam diri manusia.
13. Derajat kenabian dan kerasulan lebih tinggi di sisi Allâh daripada
derajat wali.
14. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua yang bernyawa pasti mati. Kita wajib menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh itu tidak sama dengan nama dan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang Maha
Mendengar, Maha Melihat.” (asy-Syûra/42:11).
15. Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian wali-Nya dan itu pasti terjadi, meskipun demikian Allâh Azza wa Jalla juga tidak ingin
menyusahkan wali-Nya. Inilah yang dinamakan taraddud.
[1]. Majmû’ Fatâwâ, X/58-59.
[2]. Lihat Fat-hul Bâri (XI/345) karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[3]. Lihat al-Baqarah/2:278-279.
[4]. Lihat al-Mâidah/5:33.
[5]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/334-335).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (V/235), Ibnu Hibbân (no. 646 –at-Ta’lîqâtul
Hisân dan no. 2504 –Shahîhul Mawârid), ath-Thabarani (XX/no. 241, 242), dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahih al-Jami’ish Shagîr (no. 2012).
[7]. Fathul Bâri (XI/342).
[8]. al-Furqân Baina Auliyâ’ir Rahmân wa Auliyâ’is Syaithân (hlm.
65-66), tahqiq Syaikh Salim al-Hilaly.
[9]. Qowâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyah (hlm. 334-336).
[10]. Lihat QS. al-Mâidah/5:18
[11]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/336).
[12]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3010), Ahmad (II/302), Abu Dâwud (no.
2677), dan Ibnu Hibbân (no. 134 –at-Ta’lîqâtul Hisân).
[13]. HR. al-Hâkim (II/441) dan beliau t menshahihkannya serta
disepakati adz-Dzahabi rahimahullah .
[14]. HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8657).
[15]. Diringkas dan ditambah dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/335-344).
[16]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/345-348).
[17]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2703), Muslim (no. 1675), Abu Dâwud (no.
4595), an-Nasâ’i (VIII/28), Ibnu Mâjah (no. 2649), dan Ibnu Hibbân (no.
6457 –at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[18]. HR. Bukhâri (no. 755), dari Jâbir bin Samurah Radhiyallahu anhu .
[19]. HR. Muslim (no. 1610 (139)).
[20]. HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/38, no. 12).
[21]. Hilyatul Auliyâ’ (V/401, no. 7514)
[22]. Thabaqât Ibni Sa’ad (III/186)
[23]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6507), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Shahih: HR. Ahmad (III/153), Muslim (no. 2822), Tirmidzi (no.
2559), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .
[25]. Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/129-131).
Lihat juga Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/191-192).
ARTI TAUHID DAN MAKRIFAT
Tauhid boleh diartikan sebagai suatu keyakinan yang mutlak terhadap
Allah s.w.t. tanpa disekutukan dengan yang lain.
Bila kita tauhid dengan Allah s.w.t. berarti kita benar-benar bergantung
kepada-Nya, tanpa sedikit pun ragu, syakwasangka dan was-was terhadapNya.
Tauhid kita kepada Allah adalah meliputi :
– Zat Allah
– Sifat Allah
– Asma Allah
– Apa’al Allah.
Firman Allah di dalam Al-Quran
Surah : Al-Fatihah ayat 3-4
Artinya :
Engkaulah Tuhan yang memiliki hari kemudian. Kepada engkau kami
menyembah dan kepada engkau kami minta pertolongan.
1. Tauhid pada Zat Allah maknanya adalah kita bergantung mutlak bahwa
Zat Allah saja yang memerintah di alam semesta ini, dan Dialah tuhan
semesta alam dan tidak pula kita menyekutukanNya dengan yang lain,
seperti firman Allah s.w.t diatas.
1. Tauhid pada Sifat Allah berarti kita bergantung sepenuhnya kepada
Allah dan kita tidak berhak atas sesuatu apapun kecuali dengan izinNya.
Sebagaimana dalam ayat ini :
Artinya :
Tidak hidup aku, hanya Allah yang hidup, tidak mengetahui aku hanya Allah saja yang mengetahui, tidak mendengar aku hanya Allah yang mendengar, tidak melihat aku hanya Allah yang melihat, tidak berkuasa aku hanya Allah yang berkuasa, tidak berkehendak aku hanya Allah yang berkehendak Tidak berkata-kata aku hanya Allah saja yang berkata-kata. Dialah sebenar-benarnya bagi segala-galanya.
Caranya adalah dengan kita menafikan diri zahir kita dan mengisbabkan kepada Allah s.w.t saja.
1. Tauhid pada Asma Allah berarti kita memandang bahwa setiap yang ada dan yang wujud itu adalah membawa nama Allah.
Seperti firmanNya didalam Al-Quran
Surah : Al-Baqarah ayat 115
Artinya :
Dimana saja kamu menghadap disitulah kamu lihat wajah Allah
Firman Allah didalam al-Quran lagi
Artinya :
Dialah pencipta yang mengadakan bentuk rupa dan mempunyai nama yang paling banyak.
1. Tauhid pada Apa’al yaitu kelakuan Allah s.w.t. dimana kita menafikan kelakuan diri zahir kita kemudian mengisbabkan kepada diri batin kita yaitu kelakuan Zat Allah s.w.t semata-mata.
Dengan dalil :
Artinya :
Saksikan yang banyak pada yang satu
Dan
Artinya :
Saksikan yang satu pada yang banyak.
– Adapun makna kita saksikan yang banyak kepada yang satu
adalah dengan kita melihat dan menyakini bahwa semua perbuatan dan perlakuan diatas alam semesta ini adalah datang dari pada yang satu yaitu perbuatan Zat Allah taala semata-mata.
– Dan adapun makna kita saksikan yang satu pada yang banyak adalah dengan kita melihat dan meyakini bahwasanya perlakuan Zat Alllah lah yang menghasilkan atau menimbulkan perlakuan serba beraneka ragam diatas alam dunia ini.
D. ARTI MAKRIFAT
Makrifat artinya mengenal Allah s.w.t pada :
– Zat-Nya
– Sifat-Nya
– Asma-Nya
– Apa’al-Nya.
Rasulullah awal-awal sekali sudah menegaskan bahwa tugas kita manusia adalah mengenal Allah.
Seperti sabdaNya :
Artinya :
Awal hidup (agama) adalah dengan mengenal Allah s.w.t.
Dan firman Allah didalam al-Quran, Surat : Al Insyiqaaq ayat 6
Artinya:
Hai manusia, jika sesungguhnya kamu telah berusaha dengan
sungguh-sungguh menuju tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya.
Dan firman Allah lagi, surat : An Nabaa’ ayat 39
Artinya :
Maka barang siapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan kembali (mengenal) kepada Tuhanya.
Dan firman Allah selanjutnya. Surat : Al-Ankabut ayat 69
Artinya ;
Mereka yang berjuang pada jalan kami, akan kami tunjukan jalanya
kearah kami.
Dan sesungguhnya cara untuk mengenal Allah itu adalah dengan cara kita mengenal diri kita sendiri.
Seperti firman Allah didalam hadis Qudsi.
Artinya :
Barang siapa yang mngenal dirinya maka kenallah tuhanya.
Dengan mengenal diri maka dapat mengenal tuhan. karena rahasia tuhan itu ditanggung oleh diri manusia.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa mengenal tuhan itu hendaklah dengan mengenal diri sendiri. Sesungguhnya jalan untuk mengenal diri adalah dengan cara menjalani latihan tasauf melalui guru hakekat lagi mursyid.
Adapun yang dikatakan Iman, Islam, Tauhid, dan Makrifat itu tidak boleh
dipisah-pisahkan antara satu dengan lain karena sesungguhnya :
– Islam tanpa Iman itu kosong bagai sebiji padi yang tidak
berisi.
– Iman tanpa Tauhid itu tidak berguna seperti padi yang tidak
menjadi beras.
– Tauhid tanpa Makrifat itu tidak sempurna bagai beras tidak
menjadi nasi.
– Makrifat itu adalah landasan pada Islam itu sendiri.
Dan sesungguhnya beriman tanpa tauhid juga tidak terpakai imannya,
karena tanpa tauhid, iman seseorang itu bagai ilalang yang bergerak
mengikuti arus angin bila saja di tiup maka tumbanglah dia.
Disamping itu tauhid tanpa makrifat tidak sempurna, karena tauhid
kepada sesuatu harus mengenal pada siapa yang ditauhidkan, kalau
menyerah diri kepada yang kita tidak kenal sama saja kita ini buta dan
tuli ( meraba + tidak mengerti ). Oleh karena itu bila kita tauhid kepada Allah s.w.t. maka harus pula kita mengenal Allah s.w.t.
Islam berkehendak Iman, Iman berkehendak Tauhid dan Tauhid Berkehendak Makrifat,. Oleh karena itu saudaraku jangan sekali-kali kamu pisahkan dirimu dari sisi Islam, Iman, Tauhid, dan Makrifat, jika kamu ingin mendapat keridhoan Allah s.w.t. Dan untuk pemahaman lebih lanjut silahkan ditanyakan kepada mereka-mereka yang hakiki dan makrifat lagi mursyid.
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta
kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan
kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”
Kelengkapan hadits ini adalah:
وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyâ’ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra,
III/346; X/219 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, dan lainnya
Setelah membawakan hadits ini, al-Baghâwi t mengatakan, “Hadits ini
shahih.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Rabb-nya. Kemudian beliau t bawakan hadits di atas.[1]
Hadits ini –walaupun diriwayatkan oleh Bukhâri rahimahullah dalam kitab Shahîhnya- termasuk hadits yang diperbincangkan para ulama karena ada rawi yang lemah. Namun hadits ini shahih karena ada syawâhid (penguat-penguat)nya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1640.
SYARAH HADITS
ath-Thûfi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas tentang jalan menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan metode supaya bisa mengenal dan meraih cinta-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsân, semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga
terkandung dalam hadits Jibril Alaihissallam. Dan ihsân menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud, ikhlas, muraqabah, dan lainnya.[2]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas) : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.”
Maksudnya, “Sungguh Aku mengumumkan kepadanya bahwa Aku memeranginya karena ia memerangi-Ku dengan memusuhi wali-wali-Ku.” Jadi, wali-wali
Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi, sebagaimana musuh-musuh Allâh wajib dimusuhi dan haram dicintai.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia … ” [al-Mumtahanah/60:1]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolong (wali)mu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh).
Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang beriman
sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allâh itulah yang menang.” [al-Mâidah/5:55-56]
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan mereka mencintai-Nya yaitu rendah hati terhadap kaum mukminin dan tegas terhadap orang-orang kafir.
Ketahuilah, bahwa segala bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi Allâh Azza wa Jalla , semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan, semakin keras pula permusuhannya terhadap Allâh. Karena itulah Allâh menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang
memerangi Allâh dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezhaliman mereka kepada hamba-hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di bumi.
Demikian pula orang yang memusuhi para wali Allâh Azza wa Jalla . Mereka itu telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5]
SIFAT DAN CIRI-CIRI WALI-WALI ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh
itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/10:62-63]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sifat para wali-Nya.
Pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan kedua, mereka bertakwa
kepada Allâh Azza wa Jalla .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا …
Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka…[6]
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Maksud wali Allâh adalah
orang yang mengenal Allâh, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya.”[7]
Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dalam
ayat lain, Allah k menjelaskan bahwa para wali Allâh itu bertingkat-tingkat. Allâh berfirman, yang artinya, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/35:32]
Tingkatan-Tingkat Itu Adalah :
Pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku
dosa-dosa. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka yang melalaikan
sebagian hal-hal yang wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.”
Kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan hal-hal yang wajib, menjauhi yang haram, namun mereka meninggalkan yang sunat dan terjatuh pada yang makruh.
Ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu
melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh.
Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul
’Alaihimus shalatu wassalam. Dan setelah mereka adalah para sahabat
Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Muhammad adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih
yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [al-Fath/48:29]
Para sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan perwalian kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa ingin meraih ridha Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan mereka.
Wali-wali Allâh mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Para wali Allâh tidak
memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah. Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian biasa, dan betapa banyak zindiq yang memakai pakaian bagus.”[8]
Para wali Allâh tidak ma’shûm (terjaga dari dosa). Mereka manusia biasa terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa. Allâh Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” [az-Zumar/39:33-35]
Ayat ini memberi gambaran tentang wali-wali Allâh, yaitu Allâh akan
memberi pahala yang lebih baik dari amalan mereka. Ini merupakan balasan atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang berlaku salah dan
dosa. Diantara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah terjadinya peperangan diantara mereka dan juga ijtihad-ijtihad mereka yang terkadang keliru. Dan ini sudah diketahui oleh mereka yang sering membaca perkataan-perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan
yang lainnya.[9]
Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan untuk mendo’akan kebaikan untuk mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa, ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-ssaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang.” [al-Hasyr/59:10]
Para shahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh
Ta’ala dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fath ayat 29.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya,
“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada dengan hal-hal yang Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”
Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memerangi-Nya, selanjutnya Allâh menjelaskan sifat para wali-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan apa yang dapat
mendekatkan seorang hamba kepada-Nya.
Wali-wali Allâh ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri
kepada-Nya dengan segala yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya.
Sebaliknya, musuh-musuh Allâh ialah orang-orang yang dijauhkan dan
terusir dari rahmat Allah Azza wa Jalla sebagai akibat amal perbuatan
mereka.
Allâh Azza wa Jalla membagi para wali-Nya menjadi dua kelompok :
Pertama, yang mendekatkan diri dengan melaksanakan hal-hal wajib. Ini mencakup melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, sebab semuanya itu termasuk melaksanakan yang diwajibkan oleh Allâh kepada
para hamba-Nya.
Kedua, yang mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunat setelah amalan-amalan wajib.
Dengan jelas bahwa tidak ada bisa mendekatkan kepada Allâh, menjadi
wali-Nya, dan meraih kecintaan-Nya kecuali dengan menjalankan ketaatan yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jika ada yang mengklaim dirinya meraih derajat wali dan dicintai Allâh Azza wa Jalla tetapi tidak jalan ini, maka jelas ia dusta. Seperti kaum musyrik yang mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allâh. Seperti dikisahkan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka, yang artinya, “…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ”Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya…” [az-Zumar/39:3]
Dan Allâh mengisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengklaim mereka anak-anak dan kekasih Allâh Azza wa Jalla , padahal mereka terus-menerus mendustakan para rasul, mengerjakan larangan-Nya
serta meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu dalam hadits di atas,
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa wali-wali Allah itu terbagi dalam dua tingkatan :
Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri dengan mengerjakan hal-hal yang wajib. Ini tingkatan al-muqtashidîn (pertengahan) atau golongan kanan. Mengerjakan amalan fadhu adalah amalan terbaik. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sebaik-baik amal ialah
menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .”
’Umar bin ’Abdul ’Aziz Radhiyallahu anhuma berkata dalam khutbahnya,
”Ibadah yang paling baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan.”[11]
Karena tujuan Allâh Azza wa Jalla mewajibkan berbagai kewajiban ini
supaya para hamba bisa mendekatkan diri kepada-Nya dan agar mereka bisa meraih ridha dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .
Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba (dalam kebaikan), yaitu orang-orang yang mendekat diri dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari yang makruh dan bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan seseorang dicintai Allâh, seperti difirmankan Allâh, “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”
Dan barangsiapa dicintai Allâh, maka Allâh akan anugerahkan rasa cinta
kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir dan berkhidmat kepada-Nya.
Itu semua menyebabkannya semakin dekat dengan Allâh dan terhormat di
sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا
يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allâh mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan
orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.” [al-Mâidah/5:54]
Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa orang yang tidak cinta dan tidak berusaha mendekat kepada Allâh, maka Allâh tidak akan memperdulikannya dan tidak akan memberikannya anugrah yang agung ituyaitu rasa cinta.
Jadi, orang yang berpaling dari Allâh, ia tidak akan mendapatkan ganti
Allâh untuk dirinya sedang Allâh Azza wa Jalla mempunyai banyak
pengganti untuknya.
Barangsiapa meninggalkan Allâh Azza wa Jalla , maka ia tetap merugi.
Bagaimana tidak, karena ia hanya mendapatkan sebagian kecil dari dunia, padahal dunia dan seisinya disisi Allah k tidak lebih berharga dari satu helai sayap seekor nyamuk.
Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tentang sifat-sifat
orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, Allâh berfirman dalam al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,” maksudnya, mereka bergaul dengan kaum mukminin dengan rendah
hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan sikap keras. Karena ketika mereka sudah mencintai Allâh, maka tentu mereka juga mencintai para wali Allâh sehingga mereka bergaul dengan para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang. Mereka juga membenci musuh-musuh Allâh yang memusuhi-Nya lalu memperlakukan dengan sikap keras. Allâh berfirman :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia keras
terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
[al-Fath/48:29]
Kesempurnaan cinta seseorang kepada Allâh dibuktikan dengan memerangi musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Jihad juga merupakan wahana untuk mengajak orang-orang yang berpaling dari Allâh agar kembali setelah sebelumnya didakwahi dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, para wali Allâh
itu ingin membimbing manusia menuju pintu Allâh Azza wa Jalla .
Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu
diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits,
عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَـى الْـجَنَّةِ فِـيْ السَّلَاسِلِ
Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan dibelenggu.[12]
Diantara sifat wali Allâh yang disebutkan dalam firman-Nya
al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan yang tidak takut celaan
orang-orang yang suka mencela,” maksudnya, orang-orang yang mencintai Allâh hanya menginginkan ridhai-Nya. Ia ridha kepada siapa saja yang Allah ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, orang yang masih takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, berarti cintanya tidak benar.
Selanjutnya dalam firman-Nya al-Maidah/5:54 tersebut, Allâh Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya, “Itulah karunia Allâh yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” Karunia maksudnya ialah derajat kewalian dengan sifat-sifat yang telah disebutkan.
AMALAN-AMALAN YANG PALING BISA MENDEKATKAN KEPADA ALLAH
Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan kepada Allâh Azza wa Jalla ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lain sebagainya
termasuk banyak membaca al-Qur’ân, mendengarkannya, merenungkannya serta berusaha memahaminya. Khabbâb bin al-Art Radhiyallahu anhu mengatakan,
”Mendekatlah kepada Allâh sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah, engkau tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai daripada firman-Nya (al-Qur’ân).”[13]
Bagi orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang lebih manis daripada membaca al-Qur’ân. Utsmân bin ’Affân Radhiyallahu anhu berkata,
”Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan pernah kenyang dengan firman
Rabb kalian.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ”Barangsiapa mencintai al-Qur’ân berarti ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[14]
Ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan kepada Allâh ialah banyak berdzikir dengan hati dan lisan. Dan diantara ibadah-ibadah sunnah lainnya yang lebih mendekatkan kepada Allâh ialah mencintai para wali Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi para musuh-Nya
karena-Nya.[15]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
Maksudnya, barang siapa bersungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ibadah-ibadah wajib lalu ibadah-ibadah sunnah, maka
Allâh akan mendekatkannya kepada-Nya dan menaikkan derajatnya dari
tingkatan iman ke tingkatan ihsân. Karenanya, ia menjadi hamba yang
beribadah kepada Allâh dengan merasa selalu diawasi Allâh sehingga hatinya penuh dengan ma’rifat (pengenalan) kepada Allâh, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan rindu kepada-Nya.
Ketika hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh, maka yang lainnya akan lenyap dari hati tersebut serta ia tidak lagi punya keinginan kecuali yang diinginkan Rabb-nya. Saat itulah, seorang hamba tidak bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh. Jika ia mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang dimaksud dengan firman Allâh Ta’ala, ” Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul (menitisnya Allâh kepada makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah mengisyaratkan kepada kekafiran.
Dan ini iermasuk salah satu rahasia tauhid, karena kalimat LAA ILAAHA
ILLALLAAH maknanya seseorang hamba tidak menuhankan selain Allâh dalam cinta, harapan, takut dan taat. Jika hati sudah penuh dengan tauhid yang
sempurna, maka tidak ada lagi kecintaan untuk mencintai apa yang tidak dicintai Allâh atau kebencian untuk membenci apa yang tidak dibenci Allâh. Barangsiapa hatinya seperti ini, maka organ tubuhnya tidak akan bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh dan ia tidak mempunyai keinginan kecuali di jalan Allâh dan pada sesuatu bisa mendatangkan ridha-Nya.[16]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta
perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang dicintai Allâh dan didekatkan
kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allâh Azza wa Jalla
sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh Azza wa Jalla , Allâh
memberikan apa yang diminta; Jika ia memohon perlindungan kepada-Nya maka Allâh Azza wa Jalla akan melindunginya; Dan jika ia berdo’a maka Dia mengabulkan do’anya. Dan kisah-kisah tentang orang yang do’anya mustajab banyak kita temukan dalam kisah-kisah generasi Salaf. Diantaranya :
1. Dikisahkan bahwa ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr memecahkan gigi depan
seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr menawarkan
diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun ditolak. Kabilah ar-Rubayyi’
binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita tersebut, lagi-lagi
kabilah wanita tersebut menolak. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan qishash. Anas bin an-Nadhr Radhiyallahu anhu berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan dipecahkan, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, gigi depannya tidak akan dipecakan.” Akhirnya,
kabilah wanita itu ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَـوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ.
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang yang jika
bersumpah kepada Allâh, maka Allâh pasti melaksanakan sumpahnya[17]
2. Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang do’anya mustajab. Suatu hari, ada seseorang membuat cerita bohong yang memojokkan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu berdo’a, ”Ya Allâh, jika orang tersebut bohong, panjangkanlah usianya
dan hadapkanlah fitnah-fitnah padanya.” Akhirnya orang itu tertimpa apa yang dido’akan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Ia mengganggu budak-budak wanita di jalan sambil berkata, ”Aku orang lanjut usia, tertimpa fitnah dan aku terkena do’a Sa’ad.”[18]
3. Seorang wanita bertengkar dengan Sa’îd bin Zaid Radhiyallahu anhu di
lahan Sa’îd bin Zaid. Wanita tersebut menuduh Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu merebut lahan tersebut darinya. Kemudian Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu berkata, ”Ya Allâh, jika wanita itu bohong,Vbutakanlah matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut buta. Dan suatu malam, ketika ia berjalan di lahannya, ia terjatuh di sumur kemudian meninggal.[19]
4. al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam salah satu detasemen kemudian anggota detasemen tersebut kehausan. Kemudian al-Ala’
bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu shalat lalu berdo’a, ”Ya Allâh, wahai
Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang Mahaagung, sesungguhnya kami hamba-hamba-Mu dan berada di jalan-Mu, kami memerangi musuh-Mu, karenanya, berikanlah kepada kami air hingga kami bisa minum dan berwudhu’ dan janganlah Engkau berikan air itu sedikit pun kepada siapa pun selain kami.” Lalu detasemen itu jalan sebentar kemudian menemukan sungai dari air hujan lalu mereka meminumnya dan mengisi wadah-wadah
mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang
dari sahabat-sahabat al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali
ke sungai tersebut, namun ia tidak melihat apa-apa di dalamnya dan
seakan di tempat itu tidak pernah ada air.[20]
Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau
disebutkan semuanya. Sebagian besar generasi salaf yang doanya
dikabulkan tetap bersabar atas musibah, memilih pahalanya, dan
mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Aku
tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.”
Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla telah menentukan kematian bagi
hamba-hamba-Nya seperti yang Dia firmankan dalam Surat Ali Imran/3:185.
Saat akan meninggal, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa bahkan sakit yang paling pedih.
’Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu, ”Jelaskan kepadaku tentang kematian!” Ka’ab Radhiyallahu anhu berkata, ”Wahai Amîrul Mukminîn, kematian itu ibarat pohon besar dan banyak durinya yang masuk ke kerongkongan seorang manusia, sehingga
duri-duri itu menancap pada urat-uratnya, kemudian pohon itu ditarik
keluar oleh orang yang kuat. Tercabutlah apa yang tercabut, dan
tertinggal apa yang tertinggal.” Kemudian ’Umar z menangis.[21]
Ketika ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal, anaknya
bertanya tentang ciri-ciri kematian. ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu
menjawab, ”Demi Allâh, kedua lambungku seakan berada di suatu tempat, aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan seakan ada ranting berduri ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[22]
Ketika kematian sangat menyakitkan seperti itu, padahal Allâh telah
menetapkannya untuk seluruh hamba-Nya dan itu mesti terjadi sementara Allâh Mahatinggi juga tidak suka menyakiti orang mukmin, oleh karena itu Allâh menamakan hal ini sebagai keragu-raguan terkait dengan orang Mukmin. Sedangkan para nabi, mereka tidak meninggal sehingga mereka diberi hak memilih.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَلَـكِنَّ الْـمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْـمَوْتُ ، بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّـهِ وَكَرَامَتِهِ ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِـمَّـا أَمَامَهُ ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّـهِ وَأَحَبَّ اللَّـهُ لِقَاءَهُ
…Akan tetapi seorang mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi kabar gembira tentang keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya. Karenanya, tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai daripada apa yang ada di depannya. Ia merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya.[23]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan makna at-taraddud (ragu-ragu) dalam hadits di muka, “Ini adalah hadits yang paling mulia yang menjelaskan sifat-sifat para wali Allâh. Para Ahli Kalam menolak hadits ini dan mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak boleh dinyatakan memiliki sifat ragu. karena orang yang ragu adalah orang yang tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh
Mahamengetahui akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari mereka (Ahli kalam) mengatakan bahwa Allâh diperlakukan dengan perlakuan
yang penuh keraguan!
Penjelasannya yang sebenarnya adalah, sabda Rasûlullâh adalah benar dan tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allâh, lebih sayang terhadap umat, lebih fasih dan lebih gamblang penjelasannya dibandingkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kalau begitu, maka orang yang mengingkarinya termasuk orang yang paling sesat, paling bodoh dan paling buruk akhlaknya. Orang seperti itu wajib diberi pelajaran dan dihukum
sebagai ta’zîr (peringatan supaya jera). Yang wajib (diperhatikan),
bahwa kita wajib menjaga sabda Rasûlullâh dari sangkaan batil dan
keyakinan yang rusak.
Akan tetapi orang yang ragu-ragu diantara kita, meskipun keragu-raguannya dikarenakan dia mengetahui akibat dari sebuah perkara, maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh dengan sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allâh. Kemudian, ini juga bathil, karena keraguan seseorang
terkadang disebabkan ketidaktahuannya terhadap akibat dari sesuatu, dan terkadang juga karena dua perbuatan tersebut mengandung maslahat dan
mafsadat. Dia ingin melakukannya karena ada maslahatnya dan (pada saat yang sama) dia tidak mau melakukannya karena ada mafsadat (bahaya)nya.
(Disini dia ragu) bukan karena dia tidak tahu tentang sesuatu yang
dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.
Yang seperti ini sama dengan keinginan orang sakit untuk minum obat yang tidak ia sukai. Bahkan, semua amal shaleh yang diinginkan seorang hamba tapi tidak disukai oleh jiwa termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka
dikelilingi oleh syahwat [24]
Dan juga firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal itu tidak menyenangkan bagimu…” [al-Baqarah/2:216]
Dari penjelasan di atas maka makna at-taraddud (keragu-raguan) yang
disebutkan dalam hadits menjadi jelas bagi kita. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi diatas), “Hambaku tiada henti-hentinya mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.” Sesungguhnya orang yang seperti ini keadaannya, ia akan
dicintai oleh Allâh dan dia cinta kepada Allâh. Ia akan mendekatkan diri kepada Allâh dengan mengerjakan amalan wajib dan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan sunnah yang Allâh cintai berikut pelakunya.
Hamba itu telah mengerjakan apa-apa yang dicintai oleh Allah dengan
segenap kemampuannya, maka Allâh akan mencintainya karena pekerjaan
hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan yang sama, dimana Allâh
mencintai apa-apa yang dicintai hamba-Nya, dan membenci apa-apa yang dibenci hamba-Nya. Allâh juga benci terhadap kejelekan yang menimpa hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh membenci kematian agar bertambah kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi. Allâh menginginkan kematian hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Namun Allâh juga tidak mau menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Sehingga, dari
satu sisi, kematian itu adalah suatu yang dikehendaki tapi disisi lain
ia tidak disukai. Inilah hakikat at-taraddud (keraguan) itu yaitu mengiinginkan sesuatu dari satu sisi dan membenci sesuatu itu dari sisi
yang lain, meskipun akhirnya harus memilih satu dari dua sisi tersebut.
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla memilih untuk menguatkan keinginan untuk mematikan (hamba-Nya yang mukmin) meski dibarengi dengan rasa tidak ingin menyusahkan hamba-Nya. Dan keinginan Allâh Azza wa Jalla untuk
mematikan hamba-Nya yang mukmin yang dicintai-Nya dan tidak ingin
disakiti jelas tidak sama dengan keinginan Allâh untuk mematikan orang kafir yang dibenci-Nya dan ingin disakiti.[25]
FAWAA-ID HADITS
1. Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
2. Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.
3. Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal wajib.
4. Di antara sebab mendapatkan cinta Allâh adalah melaksanakan amalan wajib dan sunnah.
5. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh.
6. Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan amalan wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
7. Ancaman bagi orang yang memusuhi para wali Allâh.
8. Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan mengolok, mengganggu, menyiksa, menyakiti atau membenci mereka, dia akan mendapat siksa di dunia dan akhirat.
9. Seorang hamba –betapapun tinggi derajatnya-, dia tidak boleh berhenti
berdo’a, memohon kepada Allâh, karena yang demikian lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan kepada Allâh.
10. Mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amalan wajib dan sunnah sebagai sebab terkabulkannya do’a, dijaga dan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla .
11. Di antara para wali Allâh, ada yang diberi karamah (kemuliaan)
dengan do’anya mustajab, dijaga, dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla dan karamah lainnya.
12. Dalam hadits ini tidak ada sedikitpun dalil atau hujjah bagi
kelompok sesat yang berpendapat bahwa Allâh menyatu dalam diri manusia.
13. Derajat kenabian dan kerasulan lebih tinggi di sisi Allâh daripada
derajat wali.
14. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua yang bernyawa pasti mati. Kita wajib menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh itu tidak sama dengan nama dan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang Maha
Mendengar, Maha Melihat.” (asy-Syûra/42:11).
15. Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian wali-Nya dan itu pasti terjadi, meskipun demikian Allâh Azza wa Jalla juga tidak ingin
menyusahkan wali-Nya. Inilah yang dinamakan taraddud.
[1]. Majmû’ Fatâwâ, X/58-59.
[2]. Lihat Fat-hul Bâri (XI/345) karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[3]. Lihat al-Baqarah/2:278-279.
[4]. Lihat al-Mâidah/5:33.
[5]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/334-335).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (V/235), Ibnu Hibbân (no. 646 –at-Ta’lîqâtul
Hisân dan no. 2504 –Shahîhul Mawârid), ath-Thabarani (XX/no. 241, 242), dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahih al-Jami’ish Shagîr (no. 2012).
[7]. Fathul Bâri (XI/342).
[8]. al-Furqân Baina Auliyâ’ir Rahmân wa Auliyâ’is Syaithân (hlm.
65-66), tahqiq Syaikh Salim al-Hilaly.
[9]. Qowâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyah (hlm. 334-336).
[10]. Lihat QS. al-Mâidah/5:18
[11]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/336).
[12]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3010), Ahmad (II/302), Abu Dâwud (no.
2677), dan Ibnu Hibbân (no. 134 –at-Ta’lîqâtul Hisân).
[13]. HR. al-Hâkim (II/441) dan beliau t menshahihkannya serta
disepakati adz-Dzahabi rahimahullah .
[14]. HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8657).
[15]. Diringkas dan ditambah dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/335-344).
[16]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/345-348).
[17]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2703), Muslim (no. 1675), Abu Dâwud (no.
4595), an-Nasâ’i (VIII/28), Ibnu Mâjah (no. 2649), dan Ibnu Hibbân (no.
6457 –at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[18]. HR. Bukhâri (no. 755), dari Jâbir bin Samurah Radhiyallahu anhu .
[19]. HR. Muslim (no. 1610 (139)).
[20]. HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/38, no. 12).
[21]. Hilyatul Auliyâ’ (V/401, no. 7514)
[22]. Thabaqât Ibni Sa’ad (III/186)
[23]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6507), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Shahih: HR. Ahmad (III/153), Muslim (no. 2822), Tirmidzi (no.
2559), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .
[25]. Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/129-131).
Lihat juga Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/191-192).
ARTI TAUHID DAN MAKRIFAT
Tauhid boleh diartikan sebagai suatu keyakinan yang mutlak terhadap
Allah s.w.t. tanpa disekutukan dengan yang lain.
Bila kita tauhid dengan Allah s.w.t. berarti kita benar-benar bergantung
kepada-Nya, tanpa sedikit pun ragu, syakwasangka dan was-was terhadapNya.
Tauhid kita kepada Allah adalah meliputi :
– Zat Allah
– Sifat Allah
– Asma Allah
– Apa’al Allah.
Firman Allah di dalam Al-Quran
Surah : Al-Fatihah ayat 3-4
Artinya :
Engkaulah Tuhan yang memiliki hari kemudian. Kepada engkau kami
menyembah dan kepada engkau kami minta pertolongan.
1. Tauhid pada Zat Allah maknanya adalah kita bergantung mutlak bahwa
Zat Allah saja yang memerintah di alam semesta ini, dan Dialah tuhan
semesta alam dan tidak pula kita menyekutukanNya dengan yang lain,
seperti firman Allah s.w.t diatas.
1. Tauhid pada Sifat Allah berarti kita bergantung sepenuhnya kepada
Allah dan kita tidak berhak atas sesuatu apapun kecuali dengan izinNya.
Sebagaimana dalam ayat ini :
Artinya :
Tidak hidup aku, hanya Allah yang hidup, tidak mengetahui aku hanya Allah saja yang mengetahui, tidak mendengar aku hanya Allah yang mendengar, tidak melihat aku hanya Allah yang melihat, tidak berkuasa aku hanya Allah yang berkuasa, tidak berkehendak aku hanya Allah yang berkehendak Tidak berkata-kata aku hanya Allah saja yang berkata-kata. Dialah sebenar-benarnya bagi segala-galanya.
Caranya adalah dengan kita menafikan diri zahir kita dan mengisbabkan kepada Allah s.w.t saja.
1. Tauhid pada Asma Allah berarti kita memandang bahwa setiap yang ada dan yang wujud itu adalah membawa nama Allah.
Seperti firmanNya didalam Al-Quran
Surah : Al-Baqarah ayat 115
Artinya :
Dimana saja kamu menghadap disitulah kamu lihat wajah Allah
Firman Allah didalam al-Quran lagi
Artinya :
Dialah pencipta yang mengadakan bentuk rupa dan mempunyai nama yang paling banyak.
1. Tauhid pada Apa’al yaitu kelakuan Allah s.w.t. dimana kita menafikan kelakuan diri zahir kita kemudian mengisbabkan kepada diri batin kita yaitu kelakuan Zat Allah s.w.t semata-mata.
Dengan dalil :
Artinya :
Saksikan yang banyak pada yang satu
Dan
Artinya :
Saksikan yang satu pada yang banyak.
– Adapun makna kita saksikan yang banyak kepada yang satu
adalah dengan kita melihat dan menyakini bahwa semua perbuatan dan perlakuan diatas alam semesta ini adalah datang dari pada yang satu yaitu perbuatan Zat Allah taala semata-mata.
– Dan adapun makna kita saksikan yang satu pada yang banyak adalah dengan kita melihat dan meyakini bahwasanya perlakuan Zat Alllah lah yang menghasilkan atau menimbulkan perlakuan serba beraneka ragam diatas alam dunia ini.
D. ARTI MAKRIFAT
Makrifat artinya mengenal Allah s.w.t pada :
– Zat-Nya
– Sifat-Nya
– Asma-Nya
– Apa’al-Nya.
Rasulullah awal-awal sekali sudah menegaskan bahwa tugas kita manusia adalah mengenal Allah.
Seperti sabdaNya :
Artinya :
Awal hidup (agama) adalah dengan mengenal Allah s.w.t.
Dan firman Allah didalam al-Quran, Surat : Al Insyiqaaq ayat 6
Artinya:
Hai manusia, jika sesungguhnya kamu telah berusaha dengan
sungguh-sungguh menuju tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya.
Dan firman Allah lagi, surat : An Nabaa’ ayat 39
Artinya :
Maka barang siapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan kembali (mengenal) kepada Tuhanya.
Dan firman Allah selanjutnya. Surat : Al-Ankabut ayat 69
Artinya ;
Mereka yang berjuang pada jalan kami, akan kami tunjukan jalanya
kearah kami.
Dan sesungguhnya cara untuk mengenal Allah itu adalah dengan cara kita mengenal diri kita sendiri.
Seperti firman Allah didalam hadis Qudsi.
Artinya :
Barang siapa yang mngenal dirinya maka kenallah tuhanya.
Dengan mengenal diri maka dapat mengenal tuhan. karena rahasia tuhan itu ditanggung oleh diri manusia.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa mengenal tuhan itu hendaklah dengan mengenal diri sendiri. Sesungguhnya jalan untuk mengenal diri adalah dengan cara menjalani latihan tasauf melalui guru hakekat lagi mursyid.
Adapun yang dikatakan Iman, Islam, Tauhid, dan Makrifat itu tidak boleh
dipisah-pisahkan antara satu dengan lain karena sesungguhnya :
– Islam tanpa Iman itu kosong bagai sebiji padi yang tidak
berisi.
– Iman tanpa Tauhid itu tidak berguna seperti padi yang tidak
menjadi beras.
– Tauhid tanpa Makrifat itu tidak sempurna bagai beras tidak
menjadi nasi.
– Makrifat itu adalah landasan pada Islam itu sendiri.
Dan sesungguhnya beriman tanpa tauhid juga tidak terpakai imannya,
karena tanpa tauhid, iman seseorang itu bagai ilalang yang bergerak
mengikuti arus angin bila saja di tiup maka tumbanglah dia.
Disamping itu tauhid tanpa makrifat tidak sempurna, karena tauhid
kepada sesuatu harus mengenal pada siapa yang ditauhidkan, kalau
menyerah diri kepada yang kita tidak kenal sama saja kita ini buta dan
tuli ( meraba + tidak mengerti ). Oleh karena itu bila kita tauhid kepada Allah s.w.t. maka harus pula kita mengenal Allah s.w.t.
Islam berkehendak Iman, Iman berkehendak Tauhid dan Tauhid Berkehendak Makrifat,. Oleh karena itu saudaraku jangan sekali-kali kamu pisahkan dirimu dari sisi Islam, Iman, Tauhid, dan Makrifat, jika kamu ingin mendapat keridhoan Allah s.w.t. Dan untuk pemahaman lebih lanjut silahkan ditanyakan kepada mereka-mereka yang hakiki dan makrifat lagi mursyid.
No comments:
Post a Comment