Maqom-Maqom Wali-Wali Allah yang tertulis Di Dalam Kitab-Kitab Para
Ulama. Apabila kita membaca kitab-kitab ilmu tasawuf pasti kita akan
menemukan penjelasan tentang maqomaat (kedudukan) seseorang di sisi Allah SWT. Allah berkehendak untuk memilih orang-orang tertentu menjadi Wali-wali-Nya di dunia, lalu Ia akan tempatkan orang-orang itu dalam maqam kedudukan yang diinginkan-Nya.
Barikut penjelasan tentang maqam-maqam yang tertulis di dalam
kitab-kitab para ulama, semoga menambah wawasan kita.
1.Qutub Atau Ghauts ( 1 abad 1 Orang )
2. Aimmah ( 1 Abad 2 orang )
3. Autad ( 1 Abad 4 Orang di 4 penjuru Mata Angin )
4. Abdal ( 1 Abad 7 Orang tidak akan bertambah & berkurang Apabila ada
wali Abdal yg Wafat Allah swt menggantikannya dengan mengangkat Wali
abdal Yg Lain ( Abdal=Pengganti ) Wali Abdal juga ada yang
Waliyahnya ( Wanita )
5. Nuqoba‟ ( Naqib ) ( 1 Abad 12 orang Di Wakilkan Allah Masing2 pada
tiap2 Bulan)
6. Nujaba‟ ( 1 Abad 8 Orang )
7. Hawariyyun ( 1 Abad 1 Orang ) Wali Hawariyyun di beri kelebihan Oleh
Allah swt dalam hal keberanian, Pedang ( Zihad) di dalam menegakkan
Agama Islam Di muka bumi.
8. Rojabiyyun ( 1 Abad 40 Orang Yg tidak akan bertambah & Berkurang
Apabila ada salah satu Wali Rojabiyyun yg meninggal Allah swt
kembali mengangkat Wali rojabiyyun yg lainnya, Dan Allah swt
mengangkatnya menjadi wali Khusus di bulan Rajab dari Awal bulan
sampai Akhir Bulan oleh karena itu Namanya Rojabiyyun.
9. Khotam ( penutup Wali )( 1 Alam dunia hanya 1 orang ) Yaitu Nabi Isa
A.S ketika diturunkan kembali ke dunia Allah swt Angkat menjadi Wali
Khotam ( Penutup ).
10. Qolbu Adam A.S ( 1 Abad 300 orang )
10. Qolbu Nuh A.S (1 Abad 40 Orang)
11. Qolbu Ibrohim A.S (1 Abad 7 Orang)
12. Qolbu Jibril A.S (1 Abad 5 Orang)
13. Qolbu Mikail A.S (1 Abad 3 Orang tidak kurang dan tidak lebih Allah swt selalu mengangkat wali lainnya Apabila ada salah satu Dari Wali
qolbu Mikail Yg Wafat)
15.Qolbu Isrofil A.S (1 Abad 1 Orang)
14. Rizalul „Alamul Anfas (1 Abad 313 Orang)
15. Rizalul Ghoib (1 Abad 10 orang tidak bertambah dan berkurang tiap2
Wali Rizalul Ghoib ada yg Wafat seketika juga Allah swt mengangkat
Wali Rizalul Ghoib Yg lain, Wali Rizalul Ghoib merupakan Wali yang
di sembunyikan oleh Allah swt dari penglihatannya Makhluk2 Bumi dan
Langit tiap2 wali Rizalul Ghoib tidak dapat mengetahui Wali Rizalul
Ghoib yang lainnya, Dan ada juga Wali dengan pangkat Rijalul Ghoib
dari golongan Jin Mu‟min, Semua Wali Rizalul Ghoib tidak mengambil
sesuatupun dari Rizqi Alam nyata ini tetapi mereka mengambil atau
menggunakan Rizqi dari Alam Ghaib.
16. Adz-Dzohirun ( 1 Abad 18 orang )
17. Rizalul Quwwatul Ilahiyyah (1 Abad 8 Orang )
18. Khomsatur Rizal (1 Abad 5 orang)
19. Rizalul Hanan ( 1 Abad 15 Orang)
20. Rizalul Haybati Wal Jalal ( 1 Abad 4 Orang)
21. Rizalul Fath ( 1 Abad 24 Orang ) Allah swt mewakilkannya di tiap
Sa‟ah ( Jam ) Wali Rizalul Fath tersebar di seluruh Dunia 2 Orang di
Yaman, 6 orang di Negara Barat, 4 orang di negara timur, dan sisanya
di semua Jihat (Arah Mata Angin)
22. Rizalul Ma‟arijil „Ula ( 1 Abad 7 Orang )
23. Rizalut Tahtil Asfal ( 1 Abad 21 orang )
24. Rizalul Imdad ( 1 Abad 3 Orang )
25. Ilahiyyun Ruhamaniyyun ( 1 Abad 3 Orang ) Pangkat ini menyerupai
Pangkatnya Wali Abdal
26. Rozulun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
27. Rozulun Wahidun Markabun Mumtaz ( 1 Abad 1 Orang ) Wali dengan Maqom Rozulun Wahidun Markab ini di lahirkan antara Manusia dan Golongan Ruhanny( Bukan Murni Manusia ), Beliau tidak mengetahui Siapa Ayahnya dari golongan Manusia , Wali dengan Pangkat ini Tubuhnya terdiri dari 2 jenis yg berbeda, Pangkat Wali ini ada juga yang menyebut ” Rozulun Barzakh ” Ibunya Dari Wali Pangkat ini dari Golongan Ruhanny Air INNALLAHA „ALA KULLI SAY IN QODIRUN ”Sesungguhnya Allah S.W.T atas segala sesuatu Kuasa.
28. Syakhsun Ghorib ( di dunia hanya ada 1 orang )
30. Saqit Arofrof Ibni Saqitil „Arsy ( 1 Abad 1 Orang )
29. Rizalul Ghina ( 1 Abad 2 Orang ) sesuai Nama Maqomnya ( Pangkatnya ) Rizalul Ghina ” Wali ini Sangat kaya baik kaya Ilmu Agama, Kaya Ma‟rifatnya kepada Allah swt maupun Kaya Harta yg di jalankan di jalan Allah swt , Pangkat Wali ini juga ada Waliahnya ( Wanita ).
30. Syakhsun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
31. Rizalun Ainit Tahkimi waz Zawaid ( 1 Abad 10 Orang )
32. Budala‟ ( 1 Abad 12 orang ) Budala‟ Jama‟ nya ( Jama‟ Sigoh Muntahal Jumu‟) dari Abdal tapi bukan Pangkat Wali Abdal
33. Rizalul Istiyaq ( 1 Abad 5 Orang )
34. Sittata Anfas ( 1 Abad 6 Orang ) salah satu wali dari pangkat ini adalah Putranya Raja Harun Ar-Royid yaitu Syeikh Al-‟Alim
29. Rizalul Ghina ( 1 Abad 2 Orang ) sesuai Nama Maqomnya ( Pangkatnya ) Rizalul Ghina ” Wali ini Sangat kaya baik kaya Ilmu Agama, Kaya Ma‟rifatnya kepada Allah swt maupun Kaya Harta yg di jalankan di jalan Allah swt , Pangkat Wali ini juga ada Waliahnya ( Wanita ).
30. Syakhsun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
31. Rizalun Ainit Tahkimi waz Zawaid ( 1 Abad 10 Orang )
32. Budala‟ ( 1 Abad 12 orang ) Budala‟ Jama‟ nya ( Jama‟ Sigoh Muntahal Jumu‟) dari Abdal tapi bukan Pangkat Wali Abdal
33. Rizalul Istiyaq ( 1 Abad 5 Orang )
34. Sittata Anfas ( 1 Abad 6 Orang ) salah satu wali dari pangkat ini adalah Putranya Raja Harun Ar-Royid yaitu Syeikh Al-‟Alim
Al-‟Allamah Ahmad As-Sibty
35. Rizalul Ma‟ ( 1 Abad 124 Orang ) Wali dengan Pangkat Ini beribadahnya di dalam Air di riwayatkan oleh Syeikh Abi Su‟ud Ibni Syabil ” Pada suatu ketika aku berada di pinggir sungai tikrit di Bagdad dan aku termenung dan terbersit dalam hatiku “Apakah ada hamba2 Allah swt yang beribadah di sungai2 atau di Lautan” Belum sampai perkataan hatiku tiba2 dari dalam sungai muncullah seseorang yang berkata “akulah salah satu hamba Allah swt yang di tugaskan untuk beribadah di dalam Air”, Maka akupun mengucapkan salam padanya lalu Dia pun membalas salam aku tiba2 orang tersebut hilang dari pandanganku.
36. Dakhilul Hizab ( 1 Abad 4 Orang ) Wali dengan Pangkat Dakhilul Hizab sesuai nama Pangkatnya , Wali ini tidak dapat di ketahui Kewaliannya oleh para wali yg lain sekalipun sekelas Qutbil Aqtob Seperti Syeikh Abdul Qodir Jailani, Karena Wali ini ada di dalam Hizab nya Allah swt
Wallahu A’lam
Maqom Wali Allah
Maqom atau derajat Wali Allah
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah)
dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda
meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai
Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan
Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga
mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan
memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan
RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya
saling mengharap agar mendapatkan bendera itu.
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i:
“Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama
Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak
akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang
mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di
sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan
syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka.
Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan,
mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di
dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah
khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang
lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal
595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dari apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dapat
kita ketahui bahwa para Wali Allah hanya Allah yang mengetahui tentang
mereka dan dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu
ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada
seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan
pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin
itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang
bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan
memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan
mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka –
untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Mereka mengomentari tulisan kami sebagai pengakuan kelompok atau kaum
yang merasa wali-wali Allah, atau menyatakan diri mereka sebagai
orang-orang yang paling dekat dengan Allah.
Kami tidak pernah menyampaikan bahwa kami seorang sufi ataupun seorang
sholeh. Kami adalah muslim yang berupaya meraih ridho Allah Azza wa
Jalla agar dapat termasuk kaum sufi atau muslim yang sholeh atau muslim
yang Ihsan
Imam As Syafi’i rahimahullah ketika beliau ditanya apakah beliau seorang
sufi atau seorang sholeh, beliau menjawabnya“Uhibbu asShalihiina wa
lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah”. Suatu jawaban yang
harus dipahami dengan balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap semoga memperoleh
Syafa’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (agar termasuk orang
yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam As Syafi’i rahimahullah bahwa kita
tidak boleh mengatakan mengakui sebagai saya serupa dengan mereka
termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi
atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin
adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil
penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap
pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Mereka juga menyanggah apa yang kami sampaikan dengan landasan firman
Allah yang artinya
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa“. (QS Yunus [10] :
62-63)
“Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada
Allah Subhanahu wa Taâala dan bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan
segala yang diperintahkan oleh Nya Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan
segala yang dilarangNya. Pemimpin mereka adalah para nabi dan rasul
‘alaihimus salam”.
Firman Allah dalam (QS Yunus [10] : 62-63) hanya menjelaskan bahwa
Wali-Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Mereka juga menyanggah bahwa yang bertugas “menjaga” agama Islam atau
ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah yang takut kepada Allah yakni
para ulama atau pewaris Nabi berlandaskan firman Allah,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
innamaa yakhsyaallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaau innallaaha ‘aziizun ghafuurun
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
(QS Faathir 35:28)
Firman Allah ta’ala ini menerangkan bahwa para Wali Allah adalah ulama
(ahli ilmu) yang Ihsan atau dengan kata lain Ulama (ahli ilmu) yang
Ihsan dapat menjadi Wali Allah atau kekasih Allah
Hal ini ada kaitannya dengan hadits Rasulullah berikut
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (takhsya khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang terbaik adalah muslim yang Ihsan
Muslim yang Ihsan adalah muslim yang selalu merasa diawasidilihat
Allah atau muslim yang melihat Allah
Muslim yang Ihsan terbaik adalah muslim yang selalu melihat Allah atau
kekasih Allah atau muslim yang dekat disisi Allah
Muslim yang dekat disisi Allah hanyalah 4 golongan yakni para Nabi
(Rasulullah yang utama), para Shiddiqin , para Syuhada dan Orang-orang
Sholeh
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H 820-935M) membagi maqamat al-walayah
(derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan
Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari
kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan
keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri
kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal
manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun
masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan
qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah
orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk
menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan
maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd
(hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah
serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus
menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas
diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian
orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu:
(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal
yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan
batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia
bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang
berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata,
lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari
perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan
rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu
mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap
shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah.
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak
Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan
mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan
al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang
untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat
al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan
hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali
yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun,
al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna
tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka
pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan
menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada
saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain
Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada
pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan
kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid
al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul
wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H1240M) dalam menjelaskan persatuan
seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar
manunggal merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan
terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan
kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua
merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi
guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah
(jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut
thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah
semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur
kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami
pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian
masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat
kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya
ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari
pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada
pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama
Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut
al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah
(cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini
diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya
kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia
maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan
Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna
al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan
kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih),
dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali);
al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang
beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari
dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari
kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para
wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan
derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai
dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Wassalam
HADITS YANG PALING MULIA TENTANG SIFAT-SIFAT WALI-WALI AllAH
عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«إِنَّ اللهَ تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ
بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ
يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ
لَأُعِيْذَنَّهُ».
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman,
’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak
henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta
kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan
kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”
Kelengkapan hadits ini adalah:
وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci
kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyâ’ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra,
III/346; X/219 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, dan lainnya
Setelah membawakan hadits ini, al-Baghâwi t mengatakan, “Hadits ini
shahih.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari
Rabb-nya. Kemudian beliau t bawakan hadits di atas.[1]
Hadits ini –walaupun diriwayatkan oleh Bukhâri rahimahullah dalam kitab
Shahîhnya- termasuk hadits yang diperbincangkan para ulama karena ada
rawi yang lemah. Namun hadits ini shahih karena ada syawâhid
(penguat-penguat)nya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni
rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1640.
SYARAH HADITS
ath-Thûfi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas tentang jalan
menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan metode supaya bisa mengenal dan
meraih cinta-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan
kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsân,
semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga
terkandung dalam hadits Jibril Alaihissallam. Dan ihsân menghimpun
kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud, ikhlas,
muraqabah, dan lainnya.[2]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas) : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan
perang kepadanya.”
Maksudnya, “Sungguh Aku mengumumkan kepadanya bahwa Aku memeranginya
karena ia memerangi-Ku dengan memusuhi wali-wali-Ku.” Jadi, wali-wali
Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi, sebagaimana musuh-musuh Allâh
wajib dimusuhi dan haram dicintai.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai
teman-teman setia … ” [al-Mumtahanah/60:1]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolong
(wali)mu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh).
Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang beriman
sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allâh itulah yang
menang.” [al-Mâidah/5:55-56]
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya yang
Allâh Azza wa Jalla cintai dan mereka mencintai-Nya yaitu rendah hati
terhadap kaum mukminin dan tegas terhadap orang-orang kafir.
Ketahuilah, bahwa segala bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi
Allâh Azza wa Jalla , semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan,
semakin keras pula permusuhannya terhadap Allâh. Karena itulah Allâh
menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang
memerangi Allâh dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezhaliman mereka kepada
hamba-hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di bumi.
Demikian pula orang yang memusuhi para wali Allâh Azza wa Jalla . Mereka
itu telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5]
SIFAT DAN CIRI-CIRI WALI-WALI ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh
itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/10:62-63]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sifat para wali-Nya.
Pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan kedua, mereka bertakwa
kepada Allâh Azza wa Jalla .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا …
Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang
bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka…[6]
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Maksud wali Allâh adalah
orang yang mengenal Allâh, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya.”[7]
Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dalam
ayat lain, Allah k menjelaskan bahwa para wali Allâh itu
bertingkat-tingkat. Allâh berfirman, yang artinya, “Kemudian Kitab itu
Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba
Kami, lalu diantara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan
izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/35:32]
Tingkatan-Tingkat Itu Adalah :
Pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku
dosa-dosa. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka yang melalaikan
sebagian hal-hal yang wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.”
Kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan hal-hal yang
wajib, menjauhi yang haram, namun mereka meninggalkan yang sunat dan
terjatuh pada yang makruh.
Ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu
melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh.
Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul
’Alaihimus shalatu wassalam. Dan setelah mereka adalah para sahabat
Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Muhammad adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dengan dia
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan
keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih
yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu
menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [al-Fath/48:29]
Para sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam
mewujudkan perwalian kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa ingin
meraih ridha Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan mereka.
Wali-wali Allâh mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Para wali Allâh tidak
memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam
perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul
rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah.
Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian
biasa, dan betapa banyak zindiq yang memakai pakaian bagus.”[8]
Para wali Allâh tidak ma’shûm (terjaga dari dosa). Mereka manusia biasa
terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa. Allâh Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad)
dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah
balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus
perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan
memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang
mereka kerjakan.” [az-Zumar/39:33-35]
Ayat ini memberi gambaran tentang wali-wali Allâh, yaitu Allâh akan
memberi pahala yang lebih baik dari amalan mereka. Ini merupakan balasan
atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa
para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang berlaku salah dan
dosa. Diantara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para
Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah
terjadinya peperangan diantara mereka dan juga ijtihad-ijtihad mereka
yang terkadang keliru. Dan ini sudah diketahui oleh mereka yang sering
membaca perkataan-perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan
yang lainnya.[9]
Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan
untuk mendo’akan kebaikan untuk mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa, ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-ssaudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang.” [al-Hasyr/59:10]
Para shahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh
Ta’ala dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fath
ayat 29.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya,
“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada dengan hal-hal yang Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak
henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.”
Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya
berarti memerangi-Nya, selanjutnya Allâh menjelaskan sifat para
wali-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan apa yang dapat
mendekatkan seorang hamba kepada-Nya.
Wali-wali Allâh ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri
kepada-Nya dengan segala yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya.
Sebaliknya, musuh-musuh Allâh ialah orang-orang yang dijauhkan dan
terusir dari rahmat Allah Azza wa Jalla sebagai akibat amal perbuatan
mereka.
Allâh Azza wa Jalla membagi para wali-Nya menjadi dua kelompok :
Pertama, yang mendekatkan diri dengan melaksanakan hal-hal wajib. Ini
mencakup melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, sebab
semuanya itu termasuk melaksanakan yang diwajibkan oleh Allâh kepada
para hamba-Nya.
Kedua, yang mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunat setelah
amalan-amalan wajib.
Dengan jelas bahwa tidak ada bisa mendekatkan kepada Allâh, menjadi
wali-Nya, dan meraih kecintaan-Nya kecuali dengan menjalankan ketaatan
yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jika ada yang mengklaim
dirinya meraih derajat wali dan dicintai Allâh Azza wa Jalla tetapi
tidak jalan ini, maka jelas ia dusta. Seperti kaum musyrik yang
mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain
Allâh. Seperti dikisahkan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka, yang
artinya, “…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia
(berkata), ”Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka
mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya…” [az-Zumar/39:3]
Dan Allâh mengisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
mengklaim mereka anak-anak dan kekasih Allâh Azza wa Jalla , padahal
mereka terus-menerus mendustakan para rasul, mengerjakan larangan-Nya
serta meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu dalam hadits di atas,
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa wali-wali Allah itu terbagi dalam
dua tingkatan :
Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri dengan mengerjakan
hal-hal yang wajib. Ini tingkatan al-muqtashidîn (pertengahan) atau
golongan kanan. Mengerjakan amalan fadhu adalah amalan terbaik. Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sebaik-baik amal ialah
menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .”
’Umar bin ’Abdul ’Aziz Radhiyallahu anhuma berkata dalam khutbahnya,
”Ibadah yang paling baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan.”[11]
Karena tujuan Allâh Azza wa Jalla mewajibkan berbagai kewajiban ini
supaya para hamba bisa mendekatkan diri kepada-Nya dan agar mereka bisa
meraih ridha dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .
Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba (dalam kebaikan), yaitu
orang-orang yang mendekat diri dengan ibadah-ibadah wajib kemudian
bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri
dari yang makruh dan bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan
seseorang dicintai Allâh, seperti difirmankan Allâh, “Hamba-Ku tidak
henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.”
Dan barangsiapa dicintai Allâh, maka Allâh akan anugerahkan rasa cinta
kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir dan berkhidmat kepada-Nya.
Itu semua menyebabkannya semakin dekat dengan Allâh dan terhormat di
sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا
يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allâh mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan
orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.” [al-Mâidah/5:54]
Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa orang yang tidak cinta dan tidak
berusaha mendekat kepada Allâh, maka Allâh tidak akan memperdulikannya
dan tidak akan memberikannya anugrah yang agung ituyaitu rasa cinta.
Jadi, orang yang berpaling dari Allâh, ia tidak akan mendapatkan ganti
Allâh untuk dirinya sedang Allâh Azza wa Jalla mempunyai banyak
pengganti untuknya.
Barangsiapa meninggalkan Allâh Azza wa Jalla , maka ia tetap merugi.
Bagaimana tidak, karena ia hanya mendapatkan sebagian kecil dari dunia,
padahal dunia dan seisinya disisi Allah k tidak lebih berharga dari satu
helai sayap seekor nyamuk.
Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tentang sifat-sifat
orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, Allâh berfirman
dalam al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir,” maksudnya, mereka bergaul dengan kaum mukminin dengan rendah
hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan
sikap keras. Karena ketika mereka sudah mencintai Allâh, maka tentu
mereka juga mencintai para wali Allâh sehingga mereka bergaul dengan
para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang. Mereka juga membenci
musuh-musuh Allâh yang memusuhi-Nya lalu memperlakukan dengan sikap
keras. Allâh berfirman :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia keras
terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
[al-Fath/48:29]
Kesempurnaan cinta seseorang kepada Allâh dibuktikan dengan memerangi
musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Jihad juga merupakan wahana untuk
mengajak orang-orang yang berpaling dari Allâh agar kembali setelah
sebelumnya didakwahi dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, para wali Allâh
itu ingin membimbing manusia menuju pintu Allâh Azza wa Jalla .
Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu
diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits,
عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَـى الْـجَنَّةِ فِـيْ السَّلَاسِلِ
Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan
dibelenggu.[12]
Diantara sifat wali Allâh yang disebutkan dalam firman-Nya
al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan yang tidak takut celaan
orang-orang yang suka mencela,” maksudnya, orang-orang yang mencintai
Allâh hanya menginginkan ridhai-Nya. Ia ridha kepada siapa saja yang
Allah ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, orang
yang masih takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, berarti
cintanya tidak benar.
Selanjutnya dalam firman-Nya al-Maidah/5:54 tersebut, Allâh Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya, “Itulah karunia Allâh yang diberikan
kepada siapa yang Dia kehendaki.” Karunia maksudnya ialah derajat
kewalian dengan sifat-sifat yang telah disebutkan.
AMALAN-AMALAN YANG PALING BISA MENDEKATKAN KEPADA ALLAH
Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan kepada Allâh Azza
wa Jalla ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla ,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lain sebagainya
termasuk banyak membaca al-Qur’ân, mendengarkannya, merenungkannya serta
berusaha memahaminya. Khabbâb bin al-Art Radhiyallahu anhu mengatakan,
”Mendekatlah kepada Allâh sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah, engkau
tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai
daripada firman-Nya (al-Qur’ân).”[13]
Bagi orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang lebih manis
daripada membaca al-Qur’ân. Utsmân bin ’Affân Radhiyallahu anhu berkata,
”Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan pernah kenyang dengan firman
Rabb kalian.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ”Barangsiapa mencintai al-Qur’ân
berarti ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[14]
Ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan kepada Allâh ialah banyak
berdzikir dengan hati dan lisan. Dan diantara ibadah-ibadah sunnah
lainnya yang lebih mendekatkan kepada Allâh ialah mencintai para wali
Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi para musuh-Nya
karena-Nya.[15]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan.”
Maksudnya, barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allâh
Azza wa Jalla dengan ibadah-ibadah wajib lalu ibadah-ibadah sunnah, maka
Allâh akan mendekatkannya kepada-Nya dan menaikkan derajatnya dari
tingkatan iman ke tingkatan ihsân. Karenanya, ia menjadi hamba yang
beribadah kepada Allâh dengan merasa selalu diawasi Allâh sehingga
hatinya penuh dengan ma’rifat (pengenalan) kepada Allâh, cinta
kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa
tenang dengan-Nya dan rindu kepada-Nya.
Ketika hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh, maka yang lainnya
akan lenyap dari hati tersebut serta ia tidak lagi punya keinginan
kecuali yang diinginkan Rabb-nya. Saat itulah, seorang hamba tidak
bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh dan tidak bergerak kecuali
dengan perintah-Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh. Jika ia
mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat
dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang dimaksud
dengan firman Allâh Ta’ala, ” Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya
yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk
berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul
(menitisnya Allâh kepada makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula
gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah
mengisyaratkan kepada kekafiran.
Dan ini iermasuk salah satu rahasia tauhid, karena kalimat LAA ILAAHA
ILLALLAAH maknanya seseorang hamba tidak menuhankan selain Allâh dalam
cinta, harapan, takut dan taat. Jika hati sudah penuh dengan tauhid yang
sempurna, maka tidak ada lagi kecintaan untuk mencintai apa yang tidak
dicintai Allâh atau kebencian untuk membenci apa yang tidak dibenci
Allâh. Barangsiapa hatinya seperti ini, maka organ tubuhnya tidak akan
bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh dan ia tidak mempunyai
keinginan kecuali di jalan Allâh dan pada sesuatu bisa mendatangkan
ridha-Nya.[16]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta
perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang dicintai Allâh dan didekatkan
kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allâh Azza wa Jalla
sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh Azza wa Jalla , Allâh
memberikan apa yang diminta; Jika ia memohon perlindungan kepada-Nya
maka Allâh Azza wa Jalla akan melindunginya; Dan jika ia berdo’a maka
Dia mengabulkan do’anya. Dan kisah-kisah tentang orang yang do’anya
mustajab banyak kita temukan dalam kisah-kisah generasi Salaf. Diantaranya :
1. Dikisahkan bahwa ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr memecahkan gigi depan
seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr menawarkan
diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun ditolak. Kabilah ar-Rubayyi’
binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita tersebut, lagi-lagi
kabilah wanita tersebut menolak. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memutuskan qishash. Anas bin an-Nadhr Radhiyallahu anhu
berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan dipecahkan, wahai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Dzat yang mengutusmu
dengan membawa kebenaran, gigi depannya tidak akan dipecakan.” Akhirnya,
kabilah wanita itu ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَـوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ.
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang yang jika
bersumpah kepada Allâh, maka Allâh pasti melaksanakan sumpahnya[17]
2. Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang do’anya
mustajab. Suatu hari, ada seseorang membuat cerita bohong yang
memojokkan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu
berdo’a, ”Ya Allâh, jika orang tersebut bohong, panjangkanlah usianya
dan hadapkanlah fitnah-fitnah padanya.” Akhirnya orang itu tertimpa apa
yang dido’akan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Ia mengganggu budak-budak
wanita di jalan sambil berkata, ”Aku orang lanjut usia, tertimpa fitnah
dan aku terkena do’a Sa’ad.”[18]
3. Seorang wanita bertengkar dengan Sa’îd bin Zaid Radhiyallahu anhu di
lahan Sa’îd bin Zaid. Wanita tersebut menuduh Sa’id bin Zaid
Radhiyallahu anhu merebut lahan tersebut darinya. Kemudian Sa’id bin
Zaid Radhiyallahu anhu berkata, ”Ya Allâh, jika wanita itu bohong,
butakanlah matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut
buta. Dan suatu malam, ketika ia berjalan di lahannya, ia terjatuh di
sumur kemudian meninggal.[19]
4. al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam salah satu
detasemen kemudian anggota detasemen tersebut kehausan. Kemudian al-Ala’
bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu shalat lalu berdo’a, ”Ya Allâh, wahai
Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat
Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang Mahaagung, sesungguhnya kami
hamba-hamba-Mu dan berada di jalan-Mu, kami memerangi musuh-Mu,
karenanya, berikanlah kepada kami air hingga kami bisa minum dan
berwudhu’ dan janganlah Engkau berikan air itu sedikit pun kepada siapa
pun selain kami.” Lalu detasemen itu jalan sebentar kemudian menemukan
sungai dari air hujan lalu mereka meminumnya dan mengisi wadah-wadah
mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang
dari sahabat-sahabat al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali
ke sungai tersebut, namun ia tidak melihat apa-apa di dalamnya dan
seakan di tempat itu tidak pernah ada air.[20]
Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau
disebutkan semuanya. Sebagian besar generasi salaf yang doanya
dikabulkan tetap bersabar atas musibah, memilih pahalanya, dan
mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Aku
tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa orang mukmin. Ia benci kematian
dan Aku tidak suka menyusahkannya.”
Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla telah menentukan kematian bagi
hamba-hamba-Nya seperti yang Dia firmankan dalam Surat Ali Imran/3:185.
Saat akan meninggal, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa
bahkan sakit yang paling pedih.
’Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu
anhu, ”Jelaskan kepadaku tentang kematian!” Ka’ab Radhiyallahu anhu
berkata, ”Wahai Amîrul Mukminîn, kematian itu ibarat pohon besar dan
banyak durinya yang masuk ke kerongkongan seorang manusia, sehingga
duri-duri itu menancap pada urat-uratnya, kemudian pohon itu ditarik
keluar oleh orang yang kuat. Tercabutlah apa yang tercabut, dan
tertinggal apa yang tertinggal.” Kemudian ’Umar z menangis.[21]
Ketika ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal, anaknya
bertanya tentang ciri-ciri kematian. ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu
menjawab, ”Demi Allâh, kedua lambungku seakan berada di suatu tempat,
aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan seakan ada ranting berduri
ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[22]
Ketika kematian sangat menyakitkan seperti itu, padahal Allâh telah
menetapkannya untuk seluruh hamba-Nya dan itu mesti terjadi sementara
Allâh Mahatinggi juga tidak suka menyakiti orang mukmin, oleh karena itu
Allâh menamakan hal ini sebagai keragu-raguan terkait dengan orang
Mukmin. Sedangkan para nabi, mereka tidak meninggal sehingga mereka
diberi hak memilih.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَلَـكِنَّ الْـمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْـمَوْتُ ، بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّـهِ وَكَرَامَتِهِ ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِـمَّـا أَمَامَهُ ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّـهِ وَأَحَبَّ اللَّـهُ لِقَاءَهُ
…Akan tetapi seorang mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi
kabar gembira tentang keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya. Karenanya,
tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai daripada apa yang ada di depannya.
Ia merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya.[23]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan makna at-taraddud
(ragu-ragu) dalam hadits di muka, “Ini adalah hadits yang paling mulia
yang menjelaskan sifat-sifat para wali Allâh. Para Ahli Kalam menolak
hadits ini dan mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak boleh
dinyatakan memiliki sifat ragu. karena orang yang ragu adalah orang yang
tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh
Mahamengetahui akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari
mereka (Ahli kalam) mengatakan bahwa Allâh diperlakukan dengan perlakuan
yang penuh keraguan!
Penjelasannya yang sebenarnya adalah, sabda Rasûlullâh adalah benar dan
tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allâh, lebih sayang terhadap
umat, lebih fasih dan lebih gamblang penjelasannya dibandingkan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kalau begitu, maka orang yang
mengingkarinya termasuk orang yang paling sesat, paling bodoh dan paling
buruk akhlaknya. Orang seperti itu wajib diberi pelajaran dan dihukum
sebagai ta’zîr (peringatan supaya jera). Yang wajib (diperhatikan),
bahwa kita wajib menjaga sabda Rasûlullâh dari sangkaan batil dan
keyakinan yang rusak.
Akan tetapi orang yang ragu-ragu diantara kita, meskipun
keragu-raguannya dikarenakan dia mengetahui akibat dari sebuah perkara,
maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh dengan
sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama
dengan Allâh. Kemudian, ini juga bathil, karena keraguan seseorang
terkadang disebabkan ketidaktahuannya terhadap akibat dari sesuatu, dan
terkadang juga karena dua perbuatan tersebut mengandung maslahat dan
mafsadat. Dia ingin melakukannya karena ada maslahatnya dan (pada saat
yang sama) dia tidak mau melakukannya karena ada mafsadat (bahaya)nya.
(Disini dia ragu) bukan karena dia tidak tahu tentang sesuatu yang
dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.
Yang seperti ini sama dengan keinginan orang sakit untuk minum obat yang
tidak ia sukai. Bahkan, semua amal shaleh yang diinginkan seorang hamba
tapi tidak disukai oleh jiwa termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka
dikelilingi oleh syahwat [24]
Dan juga firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal itu tidak menyenangkan bagimu…” [al-Baqarah/2:216]
Dari penjelasan di atas maka makna at-taraddud (keragu-raguan) yang
disebutkan dalam hadits menjadi jelas bagi kita. Karena Allâh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi diatas), “Hambaku tiada
henti-hentinya mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.” Sesungguhnya orang yang seperti ini keadaannya, ia akan
dicintai oleh Allâh dan dia cinta kepada Allâh. Ia akan mendekatkan diri
kepada Allâh dengan mengerjakan amalan wajib dan bersungguh-sungguh
dalam mengerjakan amalan sunnah yang Allâh cintai berikut pelakunya.
Hamba itu telah mengerjakan apa-apa yang dicintai oleh Allah dengan
segenap kemampuannya, maka Allâh akan mencintainya karena pekerjaan
hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan yang sama, dimana Allâh
mencintai apa-apa yang dicintai hamba-Nya, dan membenci apa-apa yang
dibenci hamba-Nya. Allâh juga benci terhadap kejelekan yang menimpa
hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh membenci kematian agar bertambah
kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh
tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi. Allâh menginginkan
kematian hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Namun Allâh
juga tidak mau menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Sehingga, dari
satu sisi, kematian itu adalah suatu yang dikehendaki tapi disisi lain
ia tidak disukai. Inilah hakikat at-taraddud (keraguan) itu yaitu
mengiinginkan sesuatu dari satu sisi dan membenci sesuatu itu dari sisi
yang lain, meskipun akhirnya harus memilih satu dari dua sisi tersebut.
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla memilih untuk menguatkan keinginan untuk
mematikan (hamba-Nya yang mukmin) meski dibarengi dengan rasa tidak
ingin menyusahkan hamba-Nya. Dan keinginan Allâh Azza wa Jalla untuk
mematikan hamba-Nya yang mukmin yang dicintai-Nya dan tidak ingin
disakiti jelas tidak sama dengan keinginan Allâh untuk mematikan orang
kafir yang dibenci-Nya dan ingin disakiti.[25]
FAWAA-ID HADITS
1. Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
2. Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.
3. Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal wajib.
4. Di antara sebab mendapatkan cinta Allâh adalah melaksanakan amalan
wajib dan sunnah.
5. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh.
6. Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan
amalan wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang diharamkan Allâh Azza
wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
7. Ancaman bagi orang yang memusuhi para wali Allâh.
8. Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan mengolok, mengganggu,
menyiksa, menyakiti atau membenci mereka, dia akan mendapat siksa di
dunia dan akhirat.
9. Seorang hamba –betapapun tinggi derajatnya-, dia tidak boleh berhenti
berdo’a, memohon kepada Allâh, karena yang demikian lebih menampakkan
kehinaan dan kerendahan kepada Allâh.
10. Mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amalan wajib dan
sunnah sebagai sebab terkabulkannya do’a, dijaga dan dilindungi oleh
Allâh Azza wa Jalla .
11. Di antara para wali Allâh, ada yang diberi karamah (kemuliaan)
dengan do’anya mustajab, dijaga, dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla dan
karamah lainnya.
12. Dalam hadits ini tidak ada sedikitpun dalil atau hujjah bagi
kelompok sesat yang berpendapat bahwa Allâh menyatu dalam diri manusia.
13. Derajat kenabian dan kerasulan lebih tinggi di sisi Allâh daripada
derajat wali.
14. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua yang bernyawa pasti mati.
Kita wajib menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa
Ta’ala . Semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh itu tidak sama dengan
nama dan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang Maha
Mendengar, Maha Melihat.” (asy-Syûra/42:11).
15. Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian wali-Nya dan itu pasti
terjadi, meskipun demikian Allâh Azza wa Jalla juga tidak ingin
menyusahkan wali-Nya. Inilah yang dinamakan taraddud.
[1]. Majmû’ Fatâwâ, X/58-59.
[2]. Lihat Fat-hul Bâri (XI/345) karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[3]. Lihat al-Baqarah/2:278-279.
[4]. Lihat al-Mâidah/5:33.
[5]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/334-335).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (V/235), Ibnu Hibbân (no. 646 –at-Ta’lîqâtul
Hisân dan no. 2504 –Shahîhul Mawârid), ath-Thabarani (XX/no. 241, 242),
dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahih al-Jami’ish Shagîr (no. 2012).
[7]. Fathul Bâri (XI/342).
[8]. al-Furqân Baina Auliyâ’ir Rahmân wa Auliyâ’is Syaithân (hlm.
65-66), tahqiq Syaikh Salim al-Hilaly.
[9]. Qowâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyah (hlm. 334-336).
[10]. Lihat QS. al-Mâidah/5:18
[11]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/336).
[12]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3010), Ahmad (II/302), Abu Dâwud (no.
2677), dan Ibnu Hibbân (no. 134 –at-Ta’lîqâtul Hisân).
[13]. HR. al-Hâkim (II/441) dan beliau t menshahihkannya serta
disepakati adz-Dzahabi rahimahullah .
[14]. HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8657).
[15]. Diringkas dan ditambah dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/335-344).
[16]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/345-348).
[17]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2703), Muslim (no. 1675), Abu Dâwud (no.
4595), an-Nasâ’i (VIII/28), Ibnu Mâjah (no. 2649), dan Ibnu Hibbân (no.
6457 –at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[18]. HR. Bukhâri (no. 755), dari Jâbir bin Samurah Radhiyallahu anhu .
[19]. HR. Muslim (no. 1610 (139)).
[20]. HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/38, no. 12).
[21]. Hilyatul Auliyâ’ (V/401, no. 7514)
[22]. Thabaqât Ibni Sa’ad (III/186)
[23]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6507), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Shahih: HR. Ahmad (III/153), Muslim (no. 2822), Tirmidzi (no.
2559), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .
[25]. Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/129-131).
Lihat juga Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/191-192).
35. Rizalul Ma‟ ( 1 Abad 124 Orang ) Wali dengan Pangkat Ini beribadahnya di dalam Air di riwayatkan oleh Syeikh Abi Su‟ud Ibni Syabil ” Pada suatu ketika aku berada di pinggir sungai tikrit di Bagdad dan aku termenung dan terbersit dalam hatiku “Apakah ada hamba2 Allah swt yang beribadah di sungai2 atau di Lautan” Belum sampai perkataan hatiku tiba2 dari dalam sungai muncullah seseorang yang berkata “akulah salah satu hamba Allah swt yang di tugaskan untuk beribadah di dalam Air”, Maka akupun mengucapkan salam padanya lalu Dia pun membalas salam aku tiba2 orang tersebut hilang dari pandanganku.
36. Dakhilul Hizab ( 1 Abad 4 Orang ) Wali dengan Pangkat Dakhilul Hizab sesuai nama Pangkatnya , Wali ini tidak dapat di ketahui Kewaliannya oleh para wali yg lain sekalipun sekelas Qutbil Aqtob Seperti Syeikh Abdul Qodir Jailani, Karena Wali ini ada di dalam Hizab nya Allah swt
Wallahu A’lam
Maqom Wali Allah
Maqom atau derajat Wali Allah
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah)
dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda
meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai
Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan
Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga
mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan
memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan
RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya
saling mengharap agar mendapatkan bendera itu.
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i:
“Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama
Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak
akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang
mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di
sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan
syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka.
Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan,
mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di
dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah
khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang
lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal
595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dari apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dapat
kita ketahui bahwa para Wali Allah hanya Allah yang mengetahui tentang
mereka dan dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu
ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada
seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan
pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin
itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang
bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan
memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan
mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka –
untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Mereka mengomentari tulisan kami sebagai pengakuan kelompok atau kaum
yang merasa wali-wali Allah, atau menyatakan diri mereka sebagai
orang-orang yang paling dekat dengan Allah.
Kami tidak pernah menyampaikan bahwa kami seorang sufi ataupun seorang
sholeh. Kami adalah muslim yang berupaya meraih ridho Allah Azza wa
Jalla agar dapat termasuk kaum sufi atau muslim yang sholeh atau muslim
yang Ihsan
Imam As Syafi’i rahimahullah ketika beliau ditanya apakah beliau seorang
sufi atau seorang sholeh, beliau menjawabnya“Uhibbu asShalihiina wa
lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah”. Suatu jawaban yang
harus dipahami dengan balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap semoga memperoleh
Syafa’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (agar termasuk orang
yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam As Syafi’i rahimahullah bahwa kita
tidak boleh mengatakan mengakui sebagai saya serupa dengan mereka
termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi
atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin
adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil
penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap
pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Mereka juga menyanggah apa yang kami sampaikan dengan landasan firman
Allah yang artinya
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa“. (QS Yunus [10] :
62-63)
“Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada
Allah Subhanahu wa Taâala dan bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan
segala yang diperintahkan oleh Nya Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan
segala yang dilarangNya. Pemimpin mereka adalah para nabi dan rasul
‘alaihimus salam”.
Firman Allah dalam (QS Yunus [10] : 62-63) hanya menjelaskan bahwa
Wali-Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Mereka juga menyanggah bahwa yang bertugas “menjaga” agama Islam atau
ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah yang takut kepada Allah yakni
para ulama atau pewaris Nabi berlandaskan firman Allah,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
innamaa yakhsyaallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaau innallaaha ‘aziizun ghafuurun
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
(QS Faathir 35:28)
Firman Allah ta’ala ini menerangkan bahwa para Wali Allah adalah ulama
(ahli ilmu) yang Ihsan atau dengan kata lain Ulama (ahli ilmu) yang
Ihsan dapat menjadi Wali Allah atau kekasih Allah
Hal ini ada kaitannya dengan hadits Rasulullah berikut
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (takhsya khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang terbaik adalah muslim yang Ihsan
Muslim yang Ihsan adalah muslim yang selalu merasa diawasidilihat
Allah atau muslim yang melihat Allah
Muslim yang Ihsan terbaik adalah muslim yang selalu melihat Allah atau
kekasih Allah atau muslim yang dekat disisi Allah
Muslim yang dekat disisi Allah hanyalah 4 golongan yakni para Nabi
(Rasulullah yang utama), para Shiddiqin , para Syuhada dan Orang-orang
Sholeh
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H 820-935M) membagi maqamat al-walayah
(derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan
Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari
kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan
keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri
kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal
manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun
masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan
qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah
orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk
menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan
maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd
(hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah
serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus
menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas
diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian
orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, yaitu:
(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal
yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan
batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia
bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang
berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata,
lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari
perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan
rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu
mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap
shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah.
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak
Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan
mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan
al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang
untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat
al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan
hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali
yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun,
al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna
tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka
pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan
menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada
saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain
Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada
pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan
kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid
al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul
wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H1240M) dalam menjelaskan persatuan
seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar
manunggal merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan
terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan
kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua
merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi
guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah
(jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut
thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah
semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur
kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami
pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian
masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat
kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya
ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari
pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada
pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama
Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut
al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah
(cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini
diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya
kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia
maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan
Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna
al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan
kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih),
dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali);
al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang
beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari
dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari
kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para
wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan
derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai
dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Wassalam
HADITS YANG PALING MULIA TENTANG SIFAT-SIFAT WALI-WALI AllAH
عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
«إِنَّ اللهَ تَعَالَـى قَالَ : مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ
بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ
يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ
لَأُعِيْذَنَّهُ».
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman,
’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak
henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta
kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan
kepadaku, Aku pasti melindunginya.’”
Kelengkapan hadits ini adalah:
وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci
kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyâ’ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra,
III/346; X/219 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, dan lainnya
Setelah membawakan hadits ini, al-Baghâwi t mengatakan, “Hadits ini
shahih.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari
Rabb-nya. Kemudian beliau t bawakan hadits di atas.[1]
Hadits ini –walaupun diriwayatkan oleh Bukhâri rahimahullah dalam kitab
Shahîhnya- termasuk hadits yang diperbincangkan para ulama karena ada
rawi yang lemah. Namun hadits ini shahih karena ada syawâhid
(penguat-penguat)nya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albâni
rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1640.
SYARAH HADITS
ath-Thûfi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas tentang jalan
menuju Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan metode supaya bisa mengenal dan
meraih cinta-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan
kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsân,
semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga
terkandung dalam hadits Jibril Alaihissallam. Dan ihsân menghimpun
kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud, ikhlas,
muraqabah, dan lainnya.[2]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas) : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan
perang kepadanya.”
Maksudnya, “Sungguh Aku mengumumkan kepadanya bahwa Aku memeranginya
karena ia memerangi-Ku dengan memusuhi wali-wali-Ku.” Jadi, wali-wali
Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi, sebagaimana musuh-musuh Allâh
wajib dimusuhi dan haram dicintai.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai
teman-teman setia … ” [al-Mumtahanah/60:1]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolong
(wali)mu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allâh).
Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang beriman
sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allâh itulah yang
menang.” [al-Mâidah/5:55-56]
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya yang
Allâh Azza wa Jalla cintai dan mereka mencintai-Nya yaitu rendah hati
terhadap kaum mukminin dan tegas terhadap orang-orang kafir.
Ketahuilah, bahwa segala bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi
Allâh Azza wa Jalla , semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan,
semakin keras pula permusuhannya terhadap Allâh. Karena itulah Allâh
menamakan pemakan riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang
memerangi Allâh dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezhaliman mereka kepada
hamba-hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan kerusakan di bumi.
Demikian pula orang yang memusuhi para wali Allâh Azza wa Jalla . Mereka
itu telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5]
SIFAT DAN CIRI-CIRI WALI-WALI ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh
itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Yûnus/10:62-63]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan sifat para wali-Nya.
Pertama, mereka memiliki iman yang jujur; Dan kedua, mereka bertakwa
kepada Allâh Azza wa Jalla .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
… إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا …
Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang
bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka…[6]
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Maksud wali Allâh adalah
orang yang mengenal Allâh, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya.”[7]
Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dalam
ayat lain, Allah k menjelaskan bahwa para wali Allâh itu
bertingkat-tingkat. Allâh berfirman, yang artinya, “Kemudian Kitab itu
Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba
Kami, lalu diantara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan
izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/35:32]
Tingkatan-Tingkat Itu Adalah :
Pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku
dosa-dosa. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Mereka yang melalaikan
sebagian hal-hal yang wajib dan melakukan sebagian perbuatan haram.”
Kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan hal-hal yang
wajib, menjauhi yang haram, namun mereka meninggalkan yang sunat dan
terjatuh pada yang makruh.
Ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu
melaksanakan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh.
Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul
’Alaihimus shalatu wassalam. Dan setelah mereka adalah para sahabat
Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Muhammad adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dengan dia
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan
keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih
yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu
menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [al-Fath/48:29]
Para sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam
mewujudkan perwalian kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa ingin
meraih ridha Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan mereka.
Wali-wali Allâh mereka tidak memiliki ciri-ciri yang khusus. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Para wali Allâh tidak
memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam
perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul
rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah.
Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian
biasa, dan betapa banyak zindiq yang memakai pakaian bagus.”[8]
Para wali Allâh tidak ma’shûm (terjaga dari dosa). Mereka manusia biasa
terkadang salah, keliru, dan berbuat dosa. Allâh Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad)
dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah
balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, agar Allâh menghapus
perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan
memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang
mereka kerjakan.” [az-Zumar/39:33-35]
Ayat ini memberi gambaran tentang wali-wali Allâh, yaitu Allâh akan
memberi pahala yang lebih baik dari amalan mereka. Ini merupakan balasan
atas taubat mereka dari perbuatan dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa
para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang berlaku salah dan
dosa. Diantara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para
Nabi dan Rasul yaitu para sahabat jatuh dalam kesalahan adalah
terjadinya peperangan diantara mereka dan juga ijtihad-ijtihad mereka
yang terkadang keliru. Dan ini sudah diketahui oleh mereka yang sering
membaca perkataan-perkataan para sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan
yang lainnya.[9]
Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan
untuk mendo’akan kebaikan untuk mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa, ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-ssaudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sungguh, Engkau Maha penyantun, Maha penyayang.” [al-Hasyr/59:10]
Para shahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh
Ta’ala dan dijanjikan Surga. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Fath
ayat 29.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya,
“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku
cintai daripada dengan hal-hal yang Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak
henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.”
Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya
berarti memerangi-Nya, selanjutnya Allâh menjelaskan sifat para
wali-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan apa yang dapat
mendekatkan seorang hamba kepada-Nya.
Wali-wali Allâh ialah orang-orang yang selalu mendekatkan diri
kepada-Nya dengan segala yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya.
Sebaliknya, musuh-musuh Allâh ialah orang-orang yang dijauhkan dan
terusir dari rahmat Allah Azza wa Jalla sebagai akibat amal perbuatan
mereka.
Allâh Azza wa Jalla membagi para wali-Nya menjadi dua kelompok :
Pertama, yang mendekatkan diri dengan melaksanakan hal-hal wajib. Ini
mencakup melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, sebab
semuanya itu termasuk melaksanakan yang diwajibkan oleh Allâh kepada
para hamba-Nya.
Kedua, yang mendekatkan diri dengan amalan-amalan sunat setelah
amalan-amalan wajib.
Dengan jelas bahwa tidak ada bisa mendekatkan kepada Allâh, menjadi
wali-Nya, dan meraih kecintaan-Nya kecuali dengan menjalankan ketaatan
yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Jika ada yang mengklaim
dirinya meraih derajat wali dan dicintai Allâh Azza wa Jalla tetapi
tidak jalan ini, maka jelas ia dusta. Seperti kaum musyrik yang
mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain
Allâh. Seperti dikisahkan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka, yang
artinya, “…Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia
(berkata), ”Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka
mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya…” [az-Zumar/39:3]
Dan Allâh mengisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
mengklaim mereka anak-anak dan kekasih Allâh Azza wa Jalla , padahal
mereka terus-menerus mendustakan para rasul, mengerjakan larangan-Nya
serta meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu dalam hadits di atas,
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa wali-wali Allah itu terbagi dalam
dua tingkatan :
Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri dengan mengerjakan
hal-hal yang wajib. Ini tingkatan al-muqtashidîn (pertengahan) atau
golongan kanan. Mengerjakan amalan fadhu adalah amalan terbaik. Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sebaik-baik amal ialah
menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla .”
’Umar bin ’Abdul ’Aziz Radhiyallahu anhuma berkata dalam khutbahnya,
”Ibadah yang paling baik ialah menunaikan ibadah-ibadah wajib dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan.”[11]
Karena tujuan Allâh Azza wa Jalla mewajibkan berbagai kewajiban ini
supaya para hamba bisa mendekatkan diri kepada-Nya dan agar mereka bisa
meraih ridha dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .
Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba (dalam kebaikan), yaitu
orang-orang yang mendekat diri dengan ibadah-ibadah wajib kemudian
bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri
dari yang makruh dan bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan
seseorang dicintai Allâh, seperti difirmankan Allâh, “Hamba-Ku tidak
henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.”
Dan barangsiapa dicintai Allâh, maka Allâh akan anugerahkan rasa cinta
kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir dan berkhidmat kepada-Nya.
Itu semua menyebabkannya semakin dekat dengan Allâh dan terhormat di
sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا
يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allâh mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan
orang-orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.” [al-Mâidah/5:54]
Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa orang yang tidak cinta dan tidak
berusaha mendekat kepada Allâh, maka Allâh tidak akan memperdulikannya
dan tidak akan memberikannya anugrah yang agung ituyaitu rasa cinta.
Jadi, orang yang berpaling dari Allâh, ia tidak akan mendapatkan ganti
Allâh untuk dirinya sedang Allâh Azza wa Jalla mempunyai banyak
pengganti untuknya.
Barangsiapa meninggalkan Allâh Azza wa Jalla , maka ia tetap merugi.
Bagaimana tidak, karena ia hanya mendapatkan sebagian kecil dari dunia,
padahal dunia dan seisinya disisi Allah k tidak lebih berharga dari satu
helai sayap seekor nyamuk.
Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tentang sifat-sifat
orang-orang yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya, Allâh berfirman
dalam al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang
kafir,” maksudnya, mereka bergaul dengan kaum mukminin dengan rendah
hati dan tawadhu’, dan mereka memperlakukan orang-orang kafir dengan
sikap keras. Karena ketika mereka sudah mencintai Allâh, maka tentu
mereka juga mencintai para wali Allâh sehingga mereka bergaul dengan
para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang. Mereka juga membenci
musuh-musuh Allâh yang memusuhi-Nya lalu memperlakukan dengan sikap
keras. Allâh berfirman :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia keras
terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
[al-Fath/48:29]
Kesempurnaan cinta seseorang kepada Allâh dibuktikan dengan memerangi
musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla . Jihad juga merupakan wahana untuk
mengajak orang-orang yang berpaling dari Allâh agar kembali setelah
sebelumnya didakwahi dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, para wali Allâh
itu ingin membimbing manusia menuju pintu Allâh Azza wa Jalla .
Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap lemah lembut, ia perlu
diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits,
عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يُقَادُوْنَ إِلَـى الْـجَنَّةِ فِـيْ السَّلَاسِلِ
Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan
dibelenggu.[12]
Diantara sifat wali Allâh yang disebutkan dalam firman-Nya
al-Maidah/5:54 diatas, yang artinya,”Dan yang tidak takut celaan
orang-orang yang suka mencela,” maksudnya, orang-orang yang mencintai
Allâh hanya menginginkan ridhai-Nya. Ia ridha kepada siapa saja yang
Allah ridhai dan benci kepada siapa saja yang Dia benci. Jadi, orang
yang masih takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, berarti
cintanya tidak benar.
Selanjutnya dalam firman-Nya al-Maidah/5:54 tersebut, Allâh Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya, “Itulah karunia Allâh yang diberikan
kepada siapa yang Dia kehendaki.” Karunia maksudnya ialah derajat
kewalian dengan sifat-sifat yang telah disebutkan.
AMALAN-AMALAN YANG PALING BISA MENDEKATKAN KEPADA ALLAH
Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan kepada Allâh Azza
wa Jalla ialah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla ,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, sedekah dan lain sebagainya
termasuk banyak membaca al-Qur’ân, mendengarkannya, merenungkannya serta
berusaha memahaminya. Khabbâb bin al-Art Radhiyallahu anhu mengatakan,
”Mendekatlah kepada Allâh sesuai dengan kemampuanmu. Ketahuilah, engkau
tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia cintai
daripada firman-Nya (al-Qur’ân).”[13]
Bagi orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang lebih manis
daripada membaca al-Qur’ân. Utsmân bin ’Affân Radhiyallahu anhu berkata,
”Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan pernah kenyang dengan firman
Rabb kalian.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ”Barangsiapa mencintai al-Qur’ân
berarti ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[14]
Ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan kepada Allâh ialah banyak
berdzikir dengan hati dan lisan. Dan diantara ibadah-ibadah sunnah
lainnya yang lebih mendekatkan kepada Allâh ialah mencintai para wali
Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi para musuh-Nya
karena-Nya.[15]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan.”
Maksudnya, barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allâh
Azza wa Jalla dengan ibadah-ibadah wajib lalu ibadah-ibadah sunnah, maka
Allâh akan mendekatkannya kepada-Nya dan menaikkan derajatnya dari
tingkatan iman ke tingkatan ihsân. Karenanya, ia menjadi hamba yang
beribadah kepada Allâh dengan merasa selalu diawasi Allâh sehingga
hatinya penuh dengan ma’rifat (pengenalan) kepada Allâh, cinta
kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa
tenang dengan-Nya dan rindu kepada-Nya.
Ketika hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh, maka yang lainnya
akan lenyap dari hati tersebut serta ia tidak lagi punya keinginan
kecuali yang diinginkan Rabb-nya. Saat itulah, seorang hamba tidak
bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh dan tidak bergerak kecuali
dengan perintah-Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh. Jika ia
mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat
dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang dimaksud
dengan firman Allâh Ta’ala, ” Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya
yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk
berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.”
Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul
(menitisnya Allâh kepada makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula
gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan dan ia telah
mengisyaratkan kepada kekafiran.
Dan ini iermasuk salah satu rahasia tauhid, karena kalimat LAA ILAAHA
ILLALLAAH maknanya seseorang hamba tidak menuhankan selain Allâh dalam
cinta, harapan, takut dan taat. Jika hati sudah penuh dengan tauhid yang
sempurna, maka tidak ada lagi kecintaan untuk mencintai apa yang tidak
dicintai Allâh atau kebencian untuk membenci apa yang tidak dibenci
Allâh. Barangsiapa hatinya seperti ini, maka organ tubuhnya tidak akan
bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh dan ia tidak mempunyai
keinginan kecuali di jalan Allâh dan pada sesuatu bisa mendatangkan
ridha-Nya.[16]
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Jika
ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta
perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang dicintai Allâh dan didekatkan
kepada-Nya memiliki kedudukan khusus di sisi Allâh Azza wa Jalla
sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh Azza wa Jalla , Allâh
memberikan apa yang diminta; Jika ia memohon perlindungan kepada-Nya
maka Allâh Azza wa Jalla akan melindunginya; Dan jika ia berdo’a maka
Dia mengabulkan do’anya. Dan kisah-kisah tentang orang yang do’anya
mustajab banyak kita temukan dalam kisah-kisah generasi Salaf. Diantaranya :
1. Dikisahkan bahwa ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr memecahkan gigi depan
seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr menawarkan
diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun ditolak. Kabilah ar-Rubayyi’
binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita tersebut, lagi-lagi
kabilah wanita tersebut menolak. Akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memutuskan qishash. Anas bin an-Nadhr Radhiyallahu anhu
berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan dipecahkan, wahai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Dzat yang mengutusmu
dengan membawa kebenaran, gigi depannya tidak akan dipecakan.” Akhirnya,
kabilah wanita itu ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَـوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ.
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang yang jika
bersumpah kepada Allâh, maka Allâh pasti melaksanakan sumpahnya[17]
2. Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang do’anya
mustajab. Suatu hari, ada seseorang membuat cerita bohong yang
memojokkan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Kemudian Sa’ad Radhiyallahu anhu
berdo’a, ”Ya Allâh, jika orang tersebut bohong, panjangkanlah usianya
dan hadapkanlah fitnah-fitnah padanya.” Akhirnya orang itu tertimpa apa
yang dido’akan Sa’ad Radhiyallahu anhu . Ia mengganggu budak-budak
wanita di jalan sambil berkata, ”Aku orang lanjut usia, tertimpa fitnah
dan aku terkena do’a Sa’ad.”[18]
3. Seorang wanita bertengkar dengan Sa’îd bin Zaid Radhiyallahu anhu di
lahan Sa’îd bin Zaid. Wanita tersebut menuduh Sa’id bin Zaid
Radhiyallahu anhu merebut lahan tersebut darinya. Kemudian Sa’id bin
Zaid Radhiyallahu anhu berkata, ”Ya Allâh, jika wanita itu bohong,
butakanlah matanya dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut
buta. Dan suatu malam, ketika ia berjalan di lahannya, ia terjatuh di
sumur kemudian meninggal.[19]
4. al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam salah satu
detasemen kemudian anggota detasemen tersebut kehausan. Kemudian al-Ala’
bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu shalat lalu berdo’a, ”Ya Allâh, wahai
Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat
Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang Mahaagung, sesungguhnya kami
hamba-hamba-Mu dan berada di jalan-Mu, kami memerangi musuh-Mu,
karenanya, berikanlah kepada kami air hingga kami bisa minum dan
berwudhu’ dan janganlah Engkau berikan air itu sedikit pun kepada siapa
pun selain kami.” Lalu detasemen itu jalan sebentar kemudian menemukan
sungai dari air hujan lalu mereka meminumnya dan mengisi wadah-wadah
mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang
dari sahabat-sahabat al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali
ke sungai tersebut, namun ia tidak melihat apa-apa di dalamnya dan
seakan di tempat itu tidak pernah ada air.[20]
Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau
disebutkan semuanya. Sebagian besar generasi salaf yang doanya
dikabulkan tetap bersabar atas musibah, memilih pahalanya, dan
mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut.
• Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits di atas), yang artinya, “Aku
tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti
keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa orang mukmin. Ia benci kematian
dan Aku tidak suka menyusahkannya.”
Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla telah menentukan kematian bagi
hamba-hamba-Nya seperti yang Dia firmankan dalam Surat Ali Imran/3:185.
Saat akan meninggal, seseorang akan merasakan sakit yang luar biasa
bahkan sakit yang paling pedih.
’Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu
anhu, ”Jelaskan kepadaku tentang kematian!” Ka’ab Radhiyallahu anhu
berkata, ”Wahai Amîrul Mukminîn, kematian itu ibarat pohon besar dan
banyak durinya yang masuk ke kerongkongan seorang manusia, sehingga
duri-duri itu menancap pada urat-uratnya, kemudian pohon itu ditarik
keluar oleh orang yang kuat. Tercabutlah apa yang tercabut, dan
tertinggal apa yang tertinggal.” Kemudian ’Umar z menangis.[21]
Ketika ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal, anaknya
bertanya tentang ciri-ciri kematian. ’Amr bin al-’Ash Radhiyallahu anhu
menjawab, ”Demi Allâh, kedua lambungku seakan berada di suatu tempat,
aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan seakan ada ranting berduri
ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[22]
Ketika kematian sangat menyakitkan seperti itu, padahal Allâh telah
menetapkannya untuk seluruh hamba-Nya dan itu mesti terjadi sementara
Allâh Mahatinggi juga tidak suka menyakiti orang mukmin, oleh karena itu
Allâh menamakan hal ini sebagai keragu-raguan terkait dengan orang
Mukmin. Sedangkan para nabi, mereka tidak meninggal sehingga mereka
diberi hak memilih.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…وَلَـكِنَّ الْـمُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ الْـمَوْتُ ، بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّـهِ وَكَرَامَتِهِ ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِـمَّـا أَمَامَهُ ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّـهِ وَأَحَبَّ اللَّـهُ لِقَاءَهُ
…Akan tetapi seorang mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi
kabar gembira tentang keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya. Karenanya,
tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai daripada apa yang ada di depannya.
Ia merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya.[23]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan makna at-taraddud
(ragu-ragu) dalam hadits di muka, “Ini adalah hadits yang paling mulia
yang menjelaskan sifat-sifat para wali Allâh. Para Ahli Kalam menolak
hadits ini dan mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak boleh
dinyatakan memiliki sifat ragu. karena orang yang ragu adalah orang yang
tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh
Mahamengetahui akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari
mereka (Ahli kalam) mengatakan bahwa Allâh diperlakukan dengan perlakuan
yang penuh keraguan!
Penjelasannya yang sebenarnya adalah, sabda Rasûlullâh adalah benar dan
tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allâh, lebih sayang terhadap
umat, lebih fasih dan lebih gamblang penjelasannya dibandingkan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kalau begitu, maka orang yang
mengingkarinya termasuk orang yang paling sesat, paling bodoh dan paling
buruk akhlaknya. Orang seperti itu wajib diberi pelajaran dan dihukum
sebagai ta’zîr (peringatan supaya jera). Yang wajib (diperhatikan),
bahwa kita wajib menjaga sabda Rasûlullâh dari sangkaan batil dan
keyakinan yang rusak.
Akan tetapi orang yang ragu-ragu diantara kita, meskipun
keragu-raguannya dikarenakan dia mengetahui akibat dari sebuah perkara,
maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh dengan
sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama
dengan Allâh. Kemudian, ini juga bathil, karena keraguan seseorang
terkadang disebabkan ketidaktahuannya terhadap akibat dari sesuatu, dan
terkadang juga karena dua perbuatan tersebut mengandung maslahat dan
mafsadat. Dia ingin melakukannya karena ada maslahatnya dan (pada saat
yang sama) dia tidak mau melakukannya karena ada mafsadat (bahaya)nya.
(Disini dia ragu) bukan karena dia tidak tahu tentang sesuatu yang
dicintai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.
Yang seperti ini sama dengan keinginan orang sakit untuk minum obat yang
tidak ia sukai. Bahkan, semua amal shaleh yang diinginkan seorang hamba
tapi tidak disukai oleh jiwa termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka
dikelilingi oleh syahwat [24]
Dan juga firman-Nya, yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal itu tidak menyenangkan bagimu…” [al-Baqarah/2:216]
Dari penjelasan di atas maka makna at-taraddud (keragu-raguan) yang
disebutkan dalam hadits menjadi jelas bagi kita. Karena Allâh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi diatas), “Hambaku tiada
henti-hentinya mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.” Sesungguhnya orang yang seperti ini keadaannya, ia akan
dicintai oleh Allâh dan dia cinta kepada Allâh. Ia akan mendekatkan diri
kepada Allâh dengan mengerjakan amalan wajib dan bersungguh-sungguh
dalam mengerjakan amalan sunnah yang Allâh cintai berikut pelakunya.
Hamba itu telah mengerjakan apa-apa yang dicintai oleh Allah dengan
segenap kemampuannya, maka Allâh akan mencintainya karena pekerjaan
hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan yang sama, dimana Allâh
mencintai apa-apa yang dicintai hamba-Nya, dan membenci apa-apa yang
dibenci hamba-Nya. Allâh juga benci terhadap kejelekan yang menimpa
hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh membenci kematian agar bertambah
kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya.
Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh
tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi. Allâh menginginkan
kematian hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Namun Allâh
juga tidak mau menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Sehingga, dari
satu sisi, kematian itu adalah suatu yang dikehendaki tapi disisi lain
ia tidak disukai. Inilah hakikat at-taraddud (keraguan) itu yaitu
mengiinginkan sesuatu dari satu sisi dan membenci sesuatu itu dari sisi
yang lain, meskipun akhirnya harus memilih satu dari dua sisi tersebut.
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla memilih untuk menguatkan keinginan untuk
mematikan (hamba-Nya yang mukmin) meski dibarengi dengan rasa tidak
ingin menyusahkan hamba-Nya. Dan keinginan Allâh Azza wa Jalla untuk
mematikan hamba-Nya yang mukmin yang dicintai-Nya dan tidak ingin
disakiti jelas tidak sama dengan keinginan Allâh untuk mematikan orang
kafir yang dibenci-Nya dan ingin disakiti.[25]
FAWAA-ID HADITS
1. Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
2. Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.
3. Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal wajib.
4. Di antara sebab mendapatkan cinta Allâh adalah melaksanakan amalan
wajib dan sunnah.
5. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh.
6. Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan
amalan wajib dan sunnah, serta meninggalkan yang diharamkan Allâh Azza
wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
7. Ancaman bagi orang yang memusuhi para wali Allâh.
8. Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan mengolok, mengganggu,
menyiksa, menyakiti atau membenci mereka, dia akan mendapat siksa di
dunia dan akhirat.
9. Seorang hamba –betapapun tinggi derajatnya-, dia tidak boleh berhenti
berdo’a, memohon kepada Allâh, karena yang demikian lebih menampakkan
kehinaan dan kerendahan kepada Allâh.
10. Mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amalan wajib dan
sunnah sebagai sebab terkabulkannya do’a, dijaga dan dilindungi oleh
Allâh Azza wa Jalla .
11. Di antara para wali Allâh, ada yang diberi karamah (kemuliaan)
dengan do’anya mustajab, dijaga, dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla dan
karamah lainnya.
12. Dalam hadits ini tidak ada sedikitpun dalil atau hujjah bagi
kelompok sesat yang berpendapat bahwa Allâh menyatu dalam diri manusia.
13. Derajat kenabian dan kerasulan lebih tinggi di sisi Allâh daripada
derajat wali.
14. Kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua yang bernyawa pasti mati.
Kita wajib menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa
Ta’ala . Semua nama-nama dan sifat-sifat Allâh itu tidak sama dengan
nama dan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang Maha
Mendengar, Maha Melihat.” (asy-Syûra/42:11).
15. Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan kematian wali-Nya dan itu pasti
terjadi, meskipun demikian Allâh Azza wa Jalla juga tidak ingin
menyusahkan wali-Nya. Inilah yang dinamakan taraddud.
[1]. Majmû’ Fatâwâ, X/58-59.
[2]. Lihat Fat-hul Bâri (XI/345) karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[3]. Lihat al-Baqarah/2:278-279.
[4]. Lihat al-Mâidah/5:33.
[5]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/334-335).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (V/235), Ibnu Hibbân (no. 646 –at-Ta’lîqâtul
Hisân dan no. 2504 –Shahîhul Mawârid), ath-Thabarani (XX/no. 241, 242),
dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahih al-Jami’ish Shagîr (no. 2012).
[7]. Fathul Bâri (XI/342).
[8]. al-Furqân Baina Auliyâ’ir Rahmân wa Auliyâ’is Syaithân (hlm.
65-66), tahqiq Syaikh Salim al-Hilaly.
[9]. Qowâ’id wa Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyah (hlm. 334-336).
[10]. Lihat QS. al-Mâidah/5:18
[11]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/336).
[12]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3010), Ahmad (II/302), Abu Dâwud (no.
2677), dan Ibnu Hibbân (no. 134 –at-Ta’lîqâtul Hisân).
[13]. HR. al-Hâkim (II/441) dan beliau t menshahihkannya serta
disepakati adz-Dzahabi rahimahullah .
[14]. HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8657).
[15]. Diringkas dan ditambah dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/335-344).
[16]. Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/345-348).
[17]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2703), Muslim (no. 1675), Abu Dâwud (no.
4595), an-Nasâ’i (VIII/28), Ibnu Mâjah (no. 2649), dan Ibnu Hibbân (no.
6457 –at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[18]. HR. Bukhâri (no. 755), dari Jâbir bin Samurah Radhiyallahu anhu .
[19]. HR. Muslim (no. 1610 (139)).
[20]. HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/38, no. 12).
[21]. Hilyatul Auliyâ’ (V/401, no. 7514)
[22]. Thabaqât Ibni Sa’ad (III/186)
[23]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6507), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Shahih: HR. Ahmad (III/153), Muslim (no. 2822), Tirmidzi (no.
2559), dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .
[25]. Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/129-131).
Lihat juga Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/191-192).
No comments:
Post a Comment