Saturday, September 19, 2020

MENGENAL DIRI RUH

Yang akan berlaku dalam kajian ini bagi Anda, insyaAllah adalah ayat berikut.

Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barangsiapa melihat [kebenaran itu], maka [manfa’atnya] bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta [tidak melihat kebenaran itu], maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku [Muhammad] sekali-kali bukanlah pemelihara [mu]. [Q.S. Al-An`am: 104]

Maksudnya, jika Allah berkenan mengaruniakan paham pada Anda, kemanfaatannya bagi Anda sendiri. Sebaliknya, jika Anda membaca ini dengan tersalah paham, artinya kaji ini bisa jadi kemudharatan bagi Anda. Jadi, berhati-hatilah mengambil paham dari bacaan ini. Bila ada yang perlu ditanyakan, jangan diam lalu Anda berkoar-koar fitnah pada kami. Kami berani menyampaikan ini untuk publik sebab pengetahuan ini adalah hak bagi setiap umat Muhammad Saw. dan kewajiban menyampaikan bagi yang sudah memahami. Berprasangka baik, itu yang utama di sini. Mudah-mudahan Allah memahamkan. InsyaAllah. Aamiin.

MENGENAL DIRI

Mengenal diri dan beramal. Ini yang diterima Allah. Mengenal diri tidak beramal, inilah orang siksa. Sebab Nabi Muhammad Rasulullah Saw. berilmu dan beramal lagi kedudukannya paling tinggi, bahkan tidak ada Tuhan yang dijumpai di kemudian hari, hanya Muhammad Saw., sebagai syafa`atul uzma.

“Ana Abu al-arwah wa Adama Abu al-basyar”

Aku adalah bagaikan Bapak sekalian Ruh, sedangkan Adam adalah bagaikan Bapak sekalian Tubuh.

Yang namanya Muhammad itu sudah cukup. Awal mula terjadi sebelumnya, Dia Berkata-kata pada hamba-Nya dengan "laa bi harfin wa laa shautin". Ketika itu Adam belum ada karena belum ada sesuatu [baharu alam]. Yang ada Muhammad dan Nur. Kemudian yang satu raib dan yang satu "melompat", bangunlah Adam. Makanya se-Zat, se-Sifat, se-Asma, dan se-Af`al.

Adam itulah satu alam semesta dan satu maha ruang [Adam sebagai bapak sekalian jasad]. Penghabisan pandangan, satu saja. Inilah pandangan Nabi Muhammad Saw.: pandang Satu kepada yang Satu. Karena dari yang Satu itulah adanya banyak. Karena dari yang Satu itulah kepada yang banyak. Adapun kita ini Rabbul Alamin [khalifah; wakil Allah di muka bumi ]. Menentukan penghabisan ini hanya kepada yang berpengetahuan.

Ketinggian ilmu dan ketuaan agama, pandai-pandai dirinya dikatakan Tuhan. Itu juga dihalalkan, itu juga yang diharamkan. Sebab Ruhul Qudus itu diri kamu juga [Q.S. Adz-Dzariat:20-21]. Makanya hendaklah disatukan [baca: diesakan| kalau tidak diesakan, zindik dan atau syirik]

Yang Menjadikan dan yang dijadikan itu satu. Diri di dalam sama-tengah hatimu, itu diri kamu juga [Ruhul Qudus]. Hendaklah diesakan dengan jasad, barulah kita bernyawa rabbani.

Penghabisan kalam Nabi Muhammad Rasulullah Saw., "Ummati, ...shalli, shalli, shalli." Di dalam shalat kita berjumpa karena di dalam shalat hanya beliau saja [Muhammad] dengan Allah yang disebut. Barangsiapa memandang dirinya bersih [putih mukhalafah]; suka Allah Ta'ala. Itulah umat Muhammad Saw.

Oleh sebab itu dalam tafakur, kalau kondisi kita sudah diam sediam-diamnya; pengingatan sadar ke kosong [maharuang], perasaan akan merasa ada di kosong. Kalau kita pakai nyawa hakiki, itu adalah pengingatan.

Zat dan Sifat itu bagaimana?

Zat [Mutlak] itu Diri-Nya, Sifat itu Asma-Nya.

Alif itu menunjukkan adanya Zat.

Lam pertama, Asma-Nya.

Lam kedua, itu Sifat-Nya.

Ha itu Kecukupan-Nya.

Pertemuan Lam pertama dan Lam kedua, jadilah sabdu [tasdid]. Sabdu itu Nur. Yang di atas sabdu, itulah Allah. Yang ditunjuk oleh alif di atas sabdu, itulah Allah.

Adapun Zat-Sifat itu Kemahaesaan-Nya. Kemahaesaan-Nya inilah Sifat Jalal. Oleh orang tauhid, Sifat Jalal itu dikatakan sebagai Sifat Kebesaran Allah [Adz-Dzariat:20]. Tuhan terlindung oleh Sifat Jalal-Nya. Sifat Jalal itu Sifat Kebesaran Tuhan. Itulah Tubuh Maharuang atau Kosong. Dan Maharuang itu juga Zat Mutlak. Zat Mutlak ini juga disebut Nur Ilahi. Inilah Kemahaesaan Tuhan.

Kemahaesaan Tuhan inilah Cahaya Diri Tuhan [Nur Ilahi]. Karena Cahaya Diri Tuhan ini juga adalah Kebesaran Diri Tuhan, dinamailah ALLAH. Jadi, ALLAH itu Nama Kebesaran bagi Zat Mutlak [Zahiru Rabbi].[Q.S. Nur:35]

Jadi, Cahaya Diri Tuhan itulah Kebesaran Diri Tuhan yang dinamai ALLAH. Tuhan tidak ber-Nama, Kebesaran-Nya itulah yang bernama ALLAH, maka dikatakan ALLAH itu Ismu Zat [Nama bagi Zat atau Nama Kebesaran Zat Mutlak]

Yang pentig setiap tahu nama, mustilah kita kenal pribadinya. Maka dalam ibadah shalat sewaktu kita takbir ihram, jangan ada lagi ber-i`tikad-i`tikad. Karena besarnya Kebesaran Tuhan itu kita tidak tahu: sudah laysa kamitslihi syaiun.

TAKBIR IHRAM YANG SEMPURNA

Waktu menyebut takbir, jangan ada hati berkata-kata lagi. Jangan ada ingat sesuatu lagi. Batal takbirnya. Ingat, yang dikatakan niat kamaliyah itu niat yang sempurna. Tidak ada lagi berniat ini-itu di dalam takbir ihram. Ucapkan sajalah. Dan sebaik-baik ucapan takbir itu dengan menyempurnakan mad badal-nya [tiga harakat|tiga alif]. Ini artinya, shalat orang tauhid tidak meninggalkan hukum tajwid. Begitulah cara orang tauhid dalam beribadah.

Mengapa ketika shalat kita menyebut, "Allaaaahu Akbar!" ? Karena yang betul-betul tidak kitak ketahui itu Besar-Nya. Kalau besarnya sesuatu dapat dikira-kira, diukur-ukur. Kalau besar-Nya Allah, tidak ada yang bisa mengetahuinya dengan alat apa pun juga.

TAKBIR IHRAM YANG RUSAK

Ketika takbir, jangan ada dimasuk-masukkan i`tikad ini-itu. Takbir itu satu kali saja. Tidak ada takbir dua-tiga kali. Banyak perbuatan yang mengada-ada. Takbir sekali, turun lagi, takbir lagi tidak jadi lagi, barulah takbir diselesaikan. Mengapa terjadi begitu? Karena mereka belum paham tentan yang disebut takbir ihram itu. Allah paling tidak suka perbuatan mengada-ada [bid`ah].

-Arifbillah-

No comments:

Post a Comment