Dalam terminologi tasawuf yang dimaksud maqamat sangat berbeda dengan makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepadaNya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya.5 Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut. Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama di antara ahli-ahli sufi, namun mereka bersependapat bahawa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah tawbah.
Rentetan amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada
kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara
intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada AllahNsemata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realiti dan pengalaman dan sebagainya.6 Al-Maqamat dan al-ahwal adalah duaNbentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian daripada kausaliti
(sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan (exersice) rohani.
Banyak pendapat yang berbeda untuk mendefinisikan maqamat, diantaranya :
Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalamNwushul (mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan
maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan Ridha.
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat - sabar - faqir - zuhud - tawakal - mahabah - ma'rifat dan ridha.
At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat - Wara - Zuhud - faqir - sabar - ridha - tawakal - ma'rifat.
Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya "Al taaruf Li Madzhab Ahl
Tasawuf", sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris
oleh Arthur John Arberry dengan judul "The doctrine of the Sufi" 3)
menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya - tawadhu (rendah hati) - tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma'rifat.
Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat Al Makiyah (The Meccan Revalation) 4)
bahkan menyebutkan enam puluh maqam tetapi tidak memperdulikan
sistematika maqam tersebut.
Maqam-maqam diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.
Menjelaskan perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut:
Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi
untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala
untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain i memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan "ahwal" sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah : takut , syukur,Nrendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal
dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut "lama'at".
Tentang "Hal", dapat diambil contoh beberapa item yang diungkapkan oleh al- Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu:
Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), al-qurb (perasaan dekat
kepada Tuhan), al-mahabbat (rasa cinta kepada Tuhan), al-khauf wa
al-rajâ’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), al-syawq (rasa
rindu), al-uns (rasa berteman), al-thuma’nînat (rasa tenteram),
al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqîn (rasa yakin).
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh
dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan,
meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-
alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang
makruh, serta yang syubhat (Al-Wara');
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;
a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi'naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
Maqām merupakan tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi
segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalahNsuatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh
al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang
sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang
berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanyaNusaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena
jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan
menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9Ntahapan;
1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah
Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. SebelumNmencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam
lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa
adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah denganNbertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknyaNseorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia
mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan
mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu
sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī
seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal,
seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan
duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk
kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, makaNdia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah,Ndia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau
sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan
terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat
rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi
kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada merekaNyang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkanNkenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang
mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak
engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan
kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas
kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali
tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu
saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini
dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia
akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka diaNmerasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara
haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaanN(angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban danNkeharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadiNkewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salikNuntuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri.
Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik danNorang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastianNdan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur
Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yangndiimplementasikan dalamnbentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan
yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatanNdari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu
adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjukNkepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberiNkenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa
jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan danNkesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya. Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalah
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. SedangkanBshukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan
hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapatNmenjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwaNjika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, makaNbersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jikaNdia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatanNtersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bershukurN[atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah
kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalunbershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga
manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatuNbentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus
ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasaNtakut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba
terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji
maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya
dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pastiNdiiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah
pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya
pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah
kepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin
menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total
terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS.
al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga
sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām
tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat
antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap
ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai
penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala
sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd
ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakanNbahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa
telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai
penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan
kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segalaNurusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir.
Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah
engkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi
baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk
yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi
kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana
berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Meridhai qadhā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita
sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan
seseorang meridhai kekufuran dan kemaksiatan.
Ridha dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana.
Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati.
Dengan ridha atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi
tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya
pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qadhā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang
berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah menghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam Mahabbah
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggiNdari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsepNmahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segalaNangan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang
telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan
balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa
rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan
balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang
yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang
dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang
dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”...mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh
maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah
mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi
akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lain
sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya...”
Untuk dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat (janji)pada seorang guru tarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam kesesatan. Baiat
Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata,
maupun yang tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap
kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqamaat" dan "Al-Ahwaal".
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut
ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran
Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf
menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi;
yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqaamaat" dan "Al-Akhwaal", yakni kedudukan dan keadaan seorang salik dalam dunia
tasawuf
Maqam Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :
"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia
mencapai suatu tujuan ...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda)
ketuhanan dengan mata hatinya".
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,
ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya".
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat
dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam
tingkatan keyakinan:
1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta
ini.
3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan
tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka
kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan
oleh keputusan akal".
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan
akhirnya.
Maqam Marifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepadaNtingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan
ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal danNtertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
Demikian ulasan singkat kami tentang maqam (kedudukan) dan hal (keadaan) dalam dunia tasawuf atau dunia para Wali Allah, semoga kita semua dapat menempuh tahapan-tahapan dalam tasawuf.
Wassalam
Saturday, September 19, 2020
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment