Saturday, September 19, 2020

Maqam Musyahadah

Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi,menyaksikan.oleh karna itu
seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang islam jika orang tsb belum menyatakan akan akan dua kalimat shahadat. Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah di butuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Untuk penyaksian ini lebih tinggi tingkatanya dari yg kedua tadi.
Akan tetapi kata mushahadah disini berarti penyaksian, yg berartikan
bahwa suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yg tidak diragukan lagi
Untuk mencapai pd tingkatan musyahadah ini seseorang harus terlebihNdahulu bersungguh2 dgn sepenuh hati demi untuk mengamalkan akan ajaran2
tasawuf untuk meningkatkan maqam berikutnya.
Didalam pengertian musyahadah seseorang yg terjun di dunia sufi rasanyaNsulit untuk mencapai pada tingkatan musyahadah ini tanpa adanya usaha atau upaya niat sungguh-sungguh.

Musyahadah dalam istilah sufiah adalah keadaan hati (bathin) hamba itu merasakan berhadapan dengan Allah Taala. Ia merasakan Allah Taala itu ibarat berada dihadapannya. Tetapi bukanlah hakikatnya demikian karena mustahil dan tidak akan terjadi Allah Taala berada di hadapannya karena Allah Taala bukan massa yang mengambil ruang. Artinya hanya ia merasakan
hampirnya ke Allah Taala, ingat dia dengan kebijakan Syuhud dzauq, maka merasailah seolah-olah Allah Taala itu berhadap-hadapan dengannya.

Musyahadah itu adalah nampaknya Allah Swt pada hambanya dimana seorangNhamba itu tidak melihat apapun didalam beribadah itu adalah dalam pengertian umum,melainkan dia hanyalah berkeyakinan bahwa dirinya telah berhadapan langsung dengan Allah Swt.
Oleh karena dia tidak lagi memperhatikan apa-apa di dlam
beribadah,karena saking asiknya dia berkeyakinan bahwa Allah Swt telah
berada di sampingnya,maka dirinya sendiri tidak di hiraukan lagl.
Berpijak dari uraian tersebut di atas bahwa sesungguhnya mushahadah ituNmerupakan tindak lanjut dari ajaran ihsan yang telah mengajarkan
mengenai konsep ibadah yang sesungguhnya dengan satu ukuran,''
seakan-akan seorang hamba itu benar2 melihat Allah Swt atau Allah Swt telah melihat dirinya.

Dalam konteks hubungan dengan "Menyaksikan Allah" dan "Seakan-akanNmenyaksikan Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin menyaksikan dan melihat Allah. "Musa as berkata: Ya
Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab,
"Kamu tidak bisa melihatKu." (al-A'raf 143).

Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlahNsandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)

Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku bebas dari kemusyrikan kamu padaKu,Nmelalui selain Dia."

Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah
Allah."(Al-Baqarah 115)

"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit
dan bumi dengan penuh kepatuhan." (Al-An'aam 79)

Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin menyaksikan dan
melihat Allah, lalu Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu.". Dengan kata lain "Kamumu" atau "Akumu" tidak bisa melihatKu. Karena itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa hanya dengan Mata Ilahi saja kita bisa MelihatNya.

Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah
dan 'inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak:

"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."

Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab (mukasyafah), yang menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.

Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan
mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "Seakan-akan"
lebih dekat sebagaiNbentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.Tetapi ketika
Rasulullah bersabda, "Jika kamu tidak melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasul SAW tidak menyabdakan, "Seakan-akan melihatmu.".

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.

Kesadaran menyaksikan dan Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi,
sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.

Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid
al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia
bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua
pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."

Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.

Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu
Athaillah dalam al-Hikam:

"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkanNmatanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempatNtinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam
dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari
memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.

Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampaiNlunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya,Nsebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah,
dan Muthala'ah."

Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba denganNAllah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untukNmemahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:

Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.

Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba
menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untukNmelihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.

Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus
berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa
tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan
kemesraan agung, lalu disanalah Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."

Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin)
dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yang disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebutNsebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."

Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan
penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."

Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan,Nketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanyaNkontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa munculNrahasiaNya karena keparipurnaanNya.

Syaikh berkata, "Musyahadah artinya runtuhnya runtuh secara pasti."
Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dariNkeruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan musyahadah.

Ada tiga derajat musyahadah, yaitu:

1. Musyahadah ma'rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya
wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan.

Ini merupakan landasan golongan ini, bahwa ma'rifat di atas ilmu. Ilmu
menurut mereka adalah pengetahuan tentang data, sedangkan ma'rifat
merupakan penguasaan tentang sesuatu dan batasannya. Dengan begituNma'rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada pula yang mengatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan ma'rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub beramal berdasarkan ilmu memperhatikan hukum-hukumnya. Sekalipun ma'rifatnya orang-orang yang taqarrub lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, toh keduanya sama-sama ahli ma'rifat dan ilmu. Orangorang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma'rifat dan orang-orang yang taqarrub tetap mem-butuhkan ilmu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati Mu'adz bin Jabal, "Engkau akan menemui suatu kaum dari Ahli
Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah
sya-hadat la ilaha Wallah. Jika mereka sudah mengetahui Allah,
kabarkan-lah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima
waktu sehari semalam." Mu'adz bin Jabal harus membuat mereka tahu
tentang Allah sebelum menyuruh mereka mendirikan shalat dan mem-bayar zakat. Tidak dapat diragukan bahwa ma'rifat seperti ini tidak sepertiNma'rifatnya orang-orang Muhajirin dan Anshar. Manusia ber-beda-beda dalam tingkat ma'rifatnya.

2. Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian,mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat.

Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Sebab derajat perta
ma merupakan kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai
tauhid,sehingga orangnya dapat melihat semua sebab. Sedangkan orang yangNada dalam derajat ini tidak memiliki tali kesaksian, bebas dariNsifat-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang disaksikannya.NIni merupakan kesaksian wu jud itu sendiri, tanpa disertai kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.

3. Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang
mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Menurut Syaikh, orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan
M musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma'rifat.


Sesungguhnya musyahadah yang sempurna dihasilkan apabila telah sempurnaNsuluknya, sempurna mencapai maqam fana Af'al, fana Sifat, fana Asma 'dan fana Zat. Yakni dasarnya adalah, apabila telah sempurna kesucian nafsu yang yang menghalang dari ingatan kepada Allah Taala. Musyahadah adalah
terbuka hijab alam bathin dengan Nur Makrifah dan ketika itu tajallilah
Zat Allah Taala di alam gaib dan Allah melihat dia di lingkungan dzahir.
Dan ketika itu ia melihat rahasia ketuhanan dan ALlah Taala melihat
penghambaannya meliputi dzahir dan bathin.


Wallahu A'lam.

No comments:

Post a Comment