Saturday, September 19, 2020

Kesaktian Kyai Lurah Semar Badranaya

Kyai Lurah Semar Badranaya/Batara Ismaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Apa arti nama Semar/Ismaya? MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
tidak pernah lapar
tidak pernah mengantuk
tidak pernah jatuh cinta
tidak pernah bersedih
tidak pernah merasa capek
tidak pernah menderita sakit
tidak pernah kepanasan
tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Semar adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan wairacarita Mahabharata dan Ramayana dari India. Meski demikian, nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut (berbahasa Sanskerta), karena tokoh ini merupakan ciptaan tulen pujangga Jawa.


Bentuk fisik

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tetapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tetapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Sejarah
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[butuh rujukan]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[butuh rujukan].
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-usul

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa[butuh rujukan].

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan keluarga

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
Batara Wungkuham
Batara Surya
Batara Candra
Batara Tamburu
Batara Siwah
Batara Kuwera
Batara Yamadipati
Batara Kamajaya
Batara Mahyanti
Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan punakawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

membahas tentang ketidaksempurnaan manusia dan hakekat perang saudara dalam kerangka
menegakkan kebenaran melawan keangkamurkaan agar terjadi perubahan yang nyata untuk menuju pada tata masyarakat yang lebih baik, pada tulisan kali ini penulis akan membahas tokoh yang sangat menarik
didunia pewayangan yang paling banyak mendapat perhatian dan berbagai intrepertasi simbolik yang sangat bervariasi yaitu tokoh Semar dengan senjata ampuhnya “Kentut”.

Semar adalah tokoh utama panakawan – arti dari panakawan adalah pana
yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah
teman yang bijaksana – bersama-sama ketiga anaknya yang bernama
Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan
sebagai berikut :

1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran “wayang
purwo/kulit” semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan
“goro-goro” yang dalam “goro-goro” diceritakan terjadi banyaknya
kekacauan dimuka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan
punokawan meredakan kekacauan tersebut.

2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa:
“Semar punika saking basa “samar”, mapan pranyoto Kyai Lurah Semar
punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita. Yen
sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu
mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung
sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun
sedaya sarwa mrakateni ” yang terjemahan bebasnya dalam bahasa
Indonesia adalah : “Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya
wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki
wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti
laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang
mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung
seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga
mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian”.

3. Semar dan panakawan lainnya bukan berasal dari epic Ramayana dan
Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh
tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu
dan Budha datang ke Indonesia.

4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang :
a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit
tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi
pada raksasa sebagai simbul angkaramurka.
b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh
kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak
kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk
penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria
utama.
c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu
ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan “Junggring Salaka”
sebagai Bhatara Guru.

Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan
para raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi
Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi
kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang
dalam asuhannya. Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis
percayai mungkin mendekati kebenaran adalah :

Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh
pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli
Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama
Hindu. Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau
nilai2 luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh
Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap
tokoh2 dewa Hindu. Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu
bisa berkembang di Indonesia. Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan
apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata
Puntadewa jamus “Kalimasada” sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam
yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Ketangga yang mengisahkan
pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan
jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat. Dan peng-Islaman masayarakat
Jawa tidak melepas sama sekali tokoh2 yang sudah ada dari zaman
sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan
teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari oleh Sunan
Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa
apabila kesenangan orang Jawa akan “wayang purwo/kulit” tidak diganggu
yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada “wayang kulit/purwo”
bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari
petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih
hidup sampai sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin
juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di
Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar.

5. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan panakawan diterjemahkan
sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata, dikarenakan
kehidupannya sebagai Lurah/Kepala Desa yaitu suatu jabatan
kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistim pemerintahan yang
dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu,
tokoh Semar selalu berada diantara rakyat kecil dan kesederhanaannya
telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa
memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu
permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya.
Oleh karena itu diceritakan dalam “wayang purwo/kulit” Semar selalu
bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya
Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya.

Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh
Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi
simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan ketidakjelasannya dan
yang lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa / asli Indonesia
yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa dimasa lalu disisipkan
dalam epic Ramayana dan Mahabharata dalam cerita “wayang purwo/kulit”
tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan
malahan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Contoh-contoh
diatas belum lagi membahas intepretasi tokoh Semar yang bersifat
mistik yang penulis tidak akan bahas disini.

Semar dengan senjata ampuhnya “Kentut”

Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat
ampuh yaitu berupa “Kentut” dan hal ini yang penulis ingin bahas
kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut keterbatasan
pandangan penulis sendiri.

Sebagai suatu kisah kepahlawanan “wayang purwo/kulit” tidak lepas dari
kisah kesaktian senjata dari para pahlawannya untuk bisa memenangkan
peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima
dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan Cakra dan sebagainya. Bahkan
dalam pewayangan juga dimasukkan unsur keris yang nyata2 bukan senjata
dari Hindia tapi asli dari Jawa.

Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya/sejarah Jawa dengan
pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok
dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning,
Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb.

Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya
bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan
senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Juga
dengan terjadinya perlombaan kecanggihan persenjataan pada masa perang
dingin antara Rusia dan Amerika pada masa beberapa tahun yang lalu.

Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan
untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan
peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat phisik
peralatan peperangan militer tapi juga menyangkut peralatan atau
sumber daya (resources) untuk memenangkan persaingan dibidang bisnis
dan politik. Sedangkan peralatannya atau tools bisa bervariasi dari
penguasaan informasi, sistim, strategi, prosedur/peraturan, sumber
daya manusia yang berkwalitas dsb.

Yang memerlukan kajian lebih lanjut kenapa Semar mempunyai senjata
“Kentut” dan bukan senjata yang bersifat phisik seperti panah, pedang,
tombak ataupun sejenisnya. Beberapa sifat senjata “Kentut” nya
Semar:

1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini
sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat
yang diciptakan atau dibuat.

2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk
menyadarkan. Dalam beberapa lakon/cerita pewayangan Semar menggunakan
senjata “Kentut” nya melawan resi/raja/ksatria yang tidak bisa
dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya “badar” atau sadar kembali
pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru,
Bhetari Durga dsb.

3. Semar akan menggunakan senjata “Kentut” nya apabila dengan cara
yang konvensional yaitu menggunakan senjata biasa tidak bisa mengatasi
permasalahan.

Sebagai makna simbolik “Kentut” itu sendri mempunyai sifat-sifat :

1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau.
2. Bisanya baunya busuk atau tidak enak.
3. Jadi “Kentut” itu juga bisa berati suara yang berbau atau
bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan.

Jadi kalau kita kombinasikan dengan dengan simbolik Semar sebagai
suara “rakyat” kecil yang bercirikan kesederhanaan yang membawa kepada
sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan
yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa
menangkap kebenaran seperti apa adanya.

Maka senjata “Kentut” nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara
“rakyat” yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran
kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga
suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak
enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus
terangannya melaksanakan kritik yang cenderung untuk menyakitkan kalau
dirasakan bagi sang pemimpin.

Dan kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya,
apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti
laiknya “Kentut” Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus
sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak
diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata
berdasarkan rasa takut).

Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni tidak terdengar dalam
tata masyarakat Indonesai dikarenakan ada hambatan2 dalam
penyampaiannya atau tidak ada kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya
/ keinginannya (termasuk didalamya kemandulan media masa, lembaga
perwakilan rakyat untuk dijadikan sarana rakyat menyatakan pendapatnya
yang mungkin saja tidak sejalan dengan pendapat yang sedang berkuasa).
Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara
yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan
yang ada. Oleh karena itu “rakyat” mencari jalannya sendiri untuk
menyuarakan hati nuraninya.

Kalau kita membaca Internet – seperti Indonesia-L – barangkali ini
lambang “Kentut” nya Semar dengan segala suara yang tidak enak
didengar ditelinga oleh para pimpinan Negara kita (kalau mereka sempat
baca Internet – mengingat accesnya yang masih terbatas di Indonesia)
yang mungkin lebih mendekati realitas dan suara raktyat yang
sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan
Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan
“badar” atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat Indonesia
yang adil makmur bagi semua rakyat (bukan buat sebahagian kecil rakyat
yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang
lebih dari yang lain)

Kesimpulan

Senjata “Kentut” nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan
senjata pamungkasnya “rakyat” untuk menyadarkan pemimpinnya agar
kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus
dipegang teguh. Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila kita dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (tanpa maksud untuk mengurangi nilai keberhasilan secara phisik yang telah dicapai selama ini). Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju Indonesia yang adil dan makmur harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang “panjang-punjung”, panjang berarti menjadi panutan negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi.

No comments:

Post a Comment