Saturday, September 19, 2020

KAROMAH ABUYA DIMYATI CIDAHU BANTEN

Nb:  Bacaan ini diniatkan untuk kebaikan bukan untuk kekahatan. Berserah diri dan mentirakatkatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan perintahnya serta menjauhi larangan-Nya,  supaya diampuni dosa - dosa saya, dosa - dosa kedua orang tua saya, dosa - dosa orang tua leluhur saya, dosa - dosa anak keturunan nabi Muhammad Shollallahi Alahi Wassalam, dicatatsebagai amal sholeh yang pahalanya diberikan untuk Nabi Muhammad, untuk para Nabi-Mu, para Malaikat-Mu, para Wali-Mu, untuk syech Abdul Kodir Jaelani dari Bagdadi untuk orang tua leluhur saya untuk ahli kubur muslimin wal muslimat dan untuk syech Syarief Hidayatullah Gunung Jati dan Syech Ahmad Rifa'i. 

Jangan Sesekali Mengamalkan Keilmuan Sebelum Meminta Izin Kepada Yg Punya Keilmuan/Mujiz, Karena Resikonya Tinggi/Berbahaya (Diluar Tanggung Jawab Kami).

Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir lagi adalah, di mana ada seorang
kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai
tersebut merasa sangat bangga, karena banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka
ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke
Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga
maqam bertanya padanya, "Dari mana kamu (Bahasa Arab)?" Si Kyai menjawab, "Dari
Indonesia." Maka penjaganya langsung bilang, "Oh di sini ada setiap malam Juma'at
seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka
segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, sehinggalah beliau
mula membaca al-Qur'an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri.

Mendengar hal itu Kyai tadi kaget, dan

berniat untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama
tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya
Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum,dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan
bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika
itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.

Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya,dituturkan dan membuat kita berdecak
kagum. Subhanallah! Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di
garis terdepan menentang penjajahan; kisahkereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu
akan menabrak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH
Rukyat.
Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang
yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya
telah meninggal dunia. Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa
Abuya tiap malam jumat ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal lain
yang tidak masuk akal tapi benar terjadinya dan ada (berikut saksi-saksi hidupnya).

Cerita ini dan juga cerita tentang Mbah Dimyati memberi ilustrasi tentang getar di dada, rasa yang hidup dan bergelora di dada Sayidina Abu Bakar dimiliki oleh Kiai-Kiai NU. Rasa dan getar di dada yang muncul karena dzikir, yang bahkan setelah kewafatan mereka pun mereka masih "online".
Cerita ini menjadi semakin menarik dikaitkan dengan cerita Kiai Said tentang ulama-ulama Timur Tengah yang maju dalam intelektualitas tapi mereka gagal menjadi ruh bagi masyarakatnya. Santri bukan pakaian dan bukan identitas. Santri adalah rasa fana di dalam Allah dan keterkaitan dengan Rasullah. Menjadi santri adalah leburnya ego, hidupnya spiritual di dada, keterkaitan ruhani dengan Rasulullah dan menjadi rahmat bagi semesta. Berikut adalah wawancara saya dengan Syaikh Mustafa.

Ceritakan padaku tentang Kiai Munajat ini?

Kiai Munajat seorang kiai yang pemberani. Beliau menyelamatkan Kolonel Darsono meski dengan resiko. Setelah dua tahun lebih dari cerita Kolonel Darsono, Syaikh Mus baru datang ke sana. Sampai pada tepi sawah kemudian ketemu seorang petani.

Ajeng teng pundi ki sanak? Saya mau ke rumahnya Kiai Munajat”. Oh saya antarkan, saya salah satu muridnya yang pertama.” Ternyata Kiai Munajat sudah wafat empat puluh hari sebelumnya. Kiai Munajat diteruskan oleh anaknya Kiai Munawir, Kiai Munawir ini seorang Kiai yang sangat tawadhu’. Walaupun sudah meninggal, teryata ada masih nyanbung. Santri-santrinya Kiai Munawair kalau menghapal Al-Qur'an di kuburan Kiai Munajat dan murid-murid merasa sangat gampang menghapal Al-Qur’an.

Di situ ngaji seperti suara lebah, karena ramainya mengaji. Saya pernah mengajak teman-teman mampir di sini, teman-teman pada bertanya Ini ada acara apa?” Ya ndak ada, ini memang seperti ini setiap harinya. Al-Qur’an tidak pernah berhenti.”
Kalau berkunjung, saya selalu mondok di sumur beliau. Airnya seger sekali. Tempat beliau dekat terminal Salatiga, dekat kantor NU. Kiai Munajat wafat tahun 1986 atau 1987. Hubungan saya dengan beliau begitu intens. Beliau Jenis orang yang sesudah meninggal masih "online".

Subhanallah. Bagaimana dengan cerita tentang Mbah Dimyati?

Aulia jaman dahulu memang seperti Kiai Munajat itu. Yang model seperti itu di banyak tempat. Di Kedawung, Pemalang ada Mbah Dimyati. Sudah wafat pun masih membantu menghapalkan Al-Qur'an pada cucunya. Ternyata paman saya Kiai Dahlan Kholil mengambil ijah Al-Qur'an dari beliau. Isteri saya pernah dapat cerita dari anaknya bahwa cucunya kalau menghapal Al-Qur'an selalu di kamar Mbah Dim, dan dia merasa selalu disimak Mbah Dim.
Untuk mendapatkan perspektif bagaimana sosok Mbah Dim, ada suatu cerita begini. Suatu hari Mbah Dim menghadiri manaqib di Pekalongan. Ada Habib pulang duluan membawa mobil, Mbah Dim dengan sepeda onthel. Ternyata mobil tersebut mogok dan Mbah Dim mendapatinya.
"Mogok Bib?" tanya Kiai Dim.
Ngenteni Njenengan, Kiai?” jawab Habib.
Nggih mpun mriki. Ya sudah, ke sini. Kalau seperti itu tak lungguhani ‘Quran bodhol’.” (Saking tawadhu'nya beliau menyebut dirinya sebagai Al-Qur'an Bodhol, sudah awut-awutan, lepas-lepas kertasnya. MasyaAllah)
Mpun monggo distater,” kata Kiai Dim.
Sepedamu disendekke situ. Tak ampirke omahku. Ya sudah kuajak kau ke rumahku tak kei kopi” ajak sang Habib.
Itu tipikal ulama NU dulu yang sekarang semakin hilang. Linda yang akan kita kunjungi di Jogja ini, pernah bercerita pada saya begini. Syaikh, ulama kalau bicara tentang kebaikan itu biasanya hanya omongan saja.” Apalagi sekarang, banyaknya kiai di TV. Itu profil scholarship yang ada sekarang. Hanya agama sebagai omongan saja.

Iya Syaikh. Kalau kita lihat sekarang agama di dunia Islam itu hanya omongan saja. Ketika orang bicara tentang kebaikan hanya ngomong saja. Allah pun menjadi sekedar omongan, bukan getar di dada. Allah menjadi sangat abstrak. Padahal Allah adalah Dhat yang Maha Lahir dan Maha Batin. Apa yang hidup di dada Abu Bakar, di Kiai Munajat, di Kiai Dimyati sebagai rukun Islam itu tidak ada. Apa sebabnya bisa menjadi begini?
Ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa operasi Yahudi agar umat Islam agar umat Islam saling bertengkar. Di Semenanjung Arabia, operasi Yahudi ini melahirkan wahabi.
Betul, Syaikh. Wahabi hanya menjadikan agama sebagai wacana saja, bukan keimanan. Al-Quran sebagai debat bukan sumber akhlak. Modus keagamaan Wahabi adalah debat. Melalui debat dan menyalahkan orang lain inilah mereka mendapatkan diri mereka sebagai Muslim. Bukan ibadah mereka pada Allah.

Di samping faktor eksternal itu ada juga faktor internal, yaitu internal weakness yang berupa: hubburiyasah (gila kekuasaan), karohiyatul maut (takut mati), dan hawa nafsu. Di lingkungan NU, tekanan eksternal itu adalah Suharto dengan deulamaisasi dan denuisasi. Suharto merusak ulama dan pesantrennya dengan cara menyebar uang dan menarik mereka dalam kekuasaan. Suharto rusak pesantren dan ulama, sehingga figur-figur seperti Kiai Munajat dan Kiai Dimyati tidak ke permukaan lagi.

Belum lama ini saya ke putera bungsunya Kiai Hamid Pasuruan. Saya dekat sekali dengan beliau.
Syaikh, orang datang ke kita seperti datang ke Kahin.”
Mending Gus, mereka ini datang njenengan bukan datang ke Kahin beneran,” jawab Syaikh Mus.
Dulu, waktu Mbah Hamid, ada orang Madura datang ke rumah, membawa buntelan. Terus ditanya: Apa itu?”
Biasa” jawabnya. Kembang”.
Digawe apa?” Tanya Kiai Hamid.
Sampean dongani, agar kapalku dapat banyak ikan dan besar.”
Oh, Ditaruh kapal. Kalau kembange ditaruh kapal, kembange jadi amis atau ikannya yang wangi. Taruh saja di rumah, di tempat tidurmu biar tempat tidurmu menjadi wangi,” saran Kiai Hamid dengan lemah lembut. Kon deleh di sajadahmu biar kalau sembahyang menghirup bau wangi”.

Baiklah kalau begitu, Kiai.”

Beberapa hari berikutnya sang nelayan datang dengan ikan besar.
Saya mau memberikan ikan-ikan ini kepada Kiai. Karena doa kiai saya mendapatkan ikan yang besar dan banyak.”Lho aku belum doa je..” jawab Kiai Hamid sambil tersenyum. Inilah persembunyian dan ketawadhuan Kiai Hamid. Sebenarnya, tentu saja sudah didoakan.
Inilah kekuatan dan kelemahan internal. Inilah internal strength yang aku maksudkan. aku belum berdoa loh”. Wah, Inilah persembunyian Kiai Hamid. Luar biasa. Kalau tanpa internal strengthness di dalam hati, siapapun akan gampang terseret tsunami dunia yang besar.

Karena kualitas-kualitas seperti inilah, maka beliau-beliau para ulama itu menjadi spreader of love cahaya Muhammad di segala penjuru. Maka di mana-mana saya mengajak muslim untuk haul, kembali menghidupkan pertalian batin mereka dengan Rasulullah.

Saya melakukannya dengan action plan, bukan dengan penjelasan, bukan dengan frame of reference. Ulama dahulu menunjukkannya dengan karomah. Karena saya khodimnya Syaikh Nadhim, dalam fana fi syaikh, ibaratnya saya hanya memegang gagang tombak. Ujung tombaknya adalah Syaikh Nadhim. Sedangkan Syaikh Nadhim dalam kefanaannya fi rasul, beliau tidak ada. Beliau hanya mengadakan Rasulullah SAW untuk orang banyak dan kehidupan saat ini dalam suatu transparani”.

Perjalanan kami sudah sampai Magelang. Cerita kami berganti tentang Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, pertalian antara lailatul ijtima NU dengan majelis dzikir Walisongo di Masjid Demak.

Saya akan menuliskan cerita ini dalam edisi berikutnya. Dengan cerita di atas, semoga bisa mengambil manfaat. selamat menghidupkan kembali rasa di hati, senantiasa tenggelam dalam hadharah Qudsiyyah Allah, dan menjalin pertalian dengan Rasulullah SAW, sehingga bisa berkata pada masalah umat.

Teman-teman Naqshabandi Semarang mengharapkan saya (Moh Yasir Alimi) menemani perjalanan mereka dan Syaikh Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani ke Jogja agar kami bisa ngobrol di mobil. Perjalanan kami melewati Salatiga, dan di sinilah, Syaikh Mus bercerita tentang Kiai Munajat.

<>Cerita ini dan juga cerita tentang Mbah Dimyati memberi ilustrasi tentang getar di dada, rasa yang hidup dan bergelora di dada Sayidina Abu Bakar dimiliki oleh Kiai-Kiai NU. Rasa dan getar di dada yang muncul karena dzikir, yang bahkan setelah kewafatan mereka pun mereka masih "online".

Cerita ini menjadi semakin menarik dikaitkan dengan cerita Kiai Said tentang ulama-ulama Timur Tengah yang maju dalam intelektualitas tapi mereka gagal menjadi ruh bagi masyarakatnya. Santri bukan pakaian dan bukan identitas. Santri adalah rasa fana di dalam Allah dan keterkaitan dengan Rasullah. Menjadi santri adalah leburnya ego, hidupnya spiritual di dada, keterkaitan ruhani dengan Rasulullah dan menjadi rahmat bagi semesta. Berikut adalah wawancara saya dengan Syaikh Mustafa.

Ceritakan padaku tentang Kiai Munajat ini?

Kiai Munajat seorang kiai yang pemberani. Beliau menyelamatkan Kolonel Darsono meski dengan resiko. Setelah dua tahun lebih dari cerita Kolonel Darsono, Syaikh Mus baru datang ke sana. Sampai pada tepi sawah kemudian ketemu seorang petani.

Ajeng teng pundi ki sanak? Saya mau ke rumahnya Kiai Munajat”. Oh saya antarkan, saya salah satu muridnya yang pertama.” Ternyata Kiai Munajat sudah wafat empat puluh hari sebelumnya. Kiai Munajat diteruskan oleh anaknya Kiai Munawir, Kiai Munawir ini seorang Kiai yang sangat tawadhu’. Walaupun sudah meninggal, teryata ada masih nyanbung. Santri-santrinya Kiai Munawair kalau menghapal Al-Qur'an di kuburan Kiai Munajat dan murid-murid merasa sangat gampang menghapal Al-Qur’an.

Di situ ngaji seperti suara lebah, karena ramainya mengaji. Saya pernah mengajak teman-teman mampir di sini, teman-teman pada bertanya Ini ada acara apa?” Ya ndak ada, ini memang seperti ini setiap harinya. Al-Qur’an tidak pernah berhenti.”

Kalau berkunjung, saya selalu mondok di sumur beliau. Airnya seger sekali. Tempat beliau dekat terminal Salatiga, dekat kantor NU. Kiai Munajat wafat tahun 1986 atau 1987. Hubungan saya dengan beliau begitu intens. Beliau Jenis orang yang sesudah meninggal masih "online".

Subhanallah. Bagaimana dengan cerita tentang Mbah Dimyati?

Aulia jaman dahulu memang seperti Kiai Munajat itu. Yang model seperti itu di banyak tempat. Di Kedawung, Pemalang ada Mbah Dimyati. Sudah wafat pun masih membantu menghapalkan Al-Qur'an pada cucunya. Ternyata paman saya Kiai Dahlan Kholil mengambil ijah Al-Qur'an dari beliau. Isteri saya pernah dapat cerita dari anaknya bahwa cucunya kalau menghapal Al-Qur'an selalu di kamar Mbah Dim, dan dia merasa selalu disimak Mbah Dim.

Untuk mendapatkan perspektif bagaimana sosok Mbah Dim, ada suatu cerita begini. Suatu hari Mbah Dim menghadiri manaqib di Pekalongan. Ada Habib pulang duluan membawa mobil, Mbah Dim dengan sepeda onthel. Ternyata mobil tersebut mogok dan Mbah Dim mendapatinya.

"Mogok Bib?" tanya Kiai Dim.
Ngenteni Njenengan, Kiai?” jawab Habib.
Nggih mpun mriki. Ya sudah, ke sini. Kalau seperti itu tak lungguhani ‘Quran bodhol’.” (Saking tawadhu'nya beliau menyebut dirinya sebagai Al-Qur'an Bodhol, sudah awut-awutan, lepas-lepas kertasnya. MasyaAllah)
Mpun monggo distater,” kata Kiai Dim.
Sepedamu disendekke situ. Tak ampirke omahku. Ya sudah kuajak kau ke rumahku tak kei kopi” ajak sang Habib.

Itu tipikal ulama NU dulu yang sekarang semakin hilang. Linda yang akan kita kunjungi di Jogja ini, pernah bercerita pada saya begini. Syaikh, ulama kalau bicara tentang kebaikan itu biasanya hanya omongan saja.” Apalagi sekarang, banyaknya kiai di TV. Itu profil scholarship yang ada sekarang. Hanya agama sebagai omongan saja.

Iya Syaikh. Kalau kita lihat sekarang agama di dunia Islam itu hanya omongan saja. Ketika orang bicara tentang kebaikan hanya ngomong saja. Allah pun menjadi sekedar omongan, bukan getar di dada. Allah menjadi sangat abstrak. Padahal Allah adalah Dhat yang Maha Lahir dan Maha Batin. Apa yang hidup di dada Abu Bakar, di Kiai Munajat, di Kiai Dimyati sebagai rukun Islam itu tidak ada. Apa sebabnya bisa menjadi begini?

Ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa operasi Yahudi agar umat Islam agar umat Islam saling bertengkar. Di Semenanjung Arabia, operasi Yahudi ini melahirkan wahabi.

Betul, Syaikh. Wahabi hanya menjadikan agama sebagai wacana saja, bukan keimanan. Al-Quran sebagai debat bukan sumber akhlak. Modus keagamaan Wahabi adalah debat. Melalui debat dan menyalahkan orang lain inilah mereka mendapatkan diri mereka sebagai Muslim. Bukan ibadah mereka pada Allah.

Di samping faktor eksternal itu ada juga faktor internal, yaitu internal weakness yang berupa: hubburiyasah (gila kekuasaan), karohiyatul maut (takut mati), dan hawa nafsu. Di lingkungan NU, tekanan eksternal itu adalah Suharto dengan deulamaisasi dan denuisasi. Suharto merusak ulama dan pesantrennya dengan cara menyebar uang dan menarik mereka dalam kekuasaan. Suharto rusak pesantren dan ulama, sehingga figur-figur seperti Kiai Munajat dan Kiai Dimyati tidak ke permukaan lagi.

Belum lama ini saya ke putera bungsunya Kiai Hamid Pasuruan. Saya dekat sekali dengan beliau.

Syaikh, orang datang ke kita seperti datang ke Kahin.”

Mending Gus, mereka ini datang njenengan bukan datang ke Kahin beneran,” jawab Syaikh Mus.

Dulu, waktu Mbah Hamid, ada orang Madura datang ke rumah, membawa buntelan. Terus ditanya: Apa itu?”

Biasa” jawabnya. Kembang”.
Digawe apa?” Tanya Kiai Hamid.
Sampean dongani, agar kapalku dapat banyak ikan dan besar.”

Oh, Ditaruh kapal. Kalau kembange ditaruh kapal, kembange jadi amis atau ikannya yang wangi. Taruh saja di rumah, di tempat tidurmu biar tempat tidurmu menjadi wangi,” saran Kiai Hamid dengan lemah lembut. Kon deleh di sajadahmu biar kalau sembahyang menghirup bau wangi”.

Baiklah kalau begitu, Kiai.”

Beberapa hari berikutnya sang nelayan datang dengan ikan besar.

Saya mau memberikan ikan-ikan ini kepada Kiai. Karena doa kiai saya mendapatkan ikan yang besar dan banyak.”

Lho aku belum doa je..” jawab Kiai Hamid sambil tersenyum. Inilah persembunyian dan ketawadhuan Kiai Hamid. Sebenarnya, tentu saja sudah didoakan.

Inilah kekuatan dan kelemahan internal. Inilah internal strength yang aku maksudkan. aku belum berdoa loh”. Wah, Inilah persembunyian Kiai Hamid. Luar biasa. Kalau tanpa internal strengthness di dalam hati, siapapun akan gampang terseret tsunami dunia yang besar.

Karena kualitas-kualitas seperti inilah, maka beliau-beliau para ulama itu menjadi spreader of love cahaya Muhammad di segala penjuru. Maka di mana-mana saya mengajak muslim untuk haul, kembali menghidupkan pertalian batin mereka dengan Rasulullah.

Saya melakukannya dengan action plan, bukan dengan penjelasan, bukan dengan frame of reference. Ulama dahulu menunjukkannya dengan karomah. Karena saya khodimnya Syaikh Nadhim, dalam fana fi syaikh, ibaratnya saya hanya memegang gagang tombak. Ujung tombaknya adalah Syaikh Nadhim. Sedangkan Syaikh Nadhim dalam kefanaannya fi rasul, beliau tidak ada. Beliau hanya mengadakan Rasulullah SAW untuk orang banyak dan kehidupan saat ini dalam suatu transparani”.

Perjalanan kami sudah sampai Magelang. Cerita kami berganti tentang Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, pertalian antara lailatul ijtima NU dengan majelis dzikir Walisongo di Masjid Demak.

Saya akan menuliskan cerita ini dalam edisi berikutnya. Dengan cerita di atas, semoga bisa mengambil manfaat. selamat menghidupkan kembali rasa di hati, senantiasa tenggelam dalam hadharah Qudsiyyah Allah, dan menjalin pertalian dengan Rasulullah SAW, sehingga bisa berkata pada masalah umat.

Teman-teman Naqshabandi Semarang mengharapkan saya (Moh Yasir Alimi) menemani perjalanan mereka dan Syaikh Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani ke Jogja agar kami bisa ngobrol di mobil. Perjalanan kami melewati Salatiga, dan di sinilah, Syaikh Mus bercerita tentang Kiai Munajat.

<>Cerita ini dan juga cerita tentang Mbah Dimyati memberi ilustrasi tentang getar di dada, rasa yang hidup dan bergelora di dada Sayidina Abu Bakar dimiliki oleh Kiai-Kiai NU. Rasa dan getar di dada yang muncul karena dzikir, yang bahkan setelah kewafatan mereka pun mereka masih "online".

Cerita ini menjadi semakin menarik dikaitkan dengan cerita Kiai Said tentang ulama-ulama Timur Tengah yang maju dalam intelektualitas tapi mereka gagal menjadi ruh bagi masyarakatnya. Santri bukan pakaian dan bukan identitas. Santri adalah rasa fana di dalam Allah dan keterkaitan dengan Rasullah. Menjadi santri adalah leburnya ego, hidupnya spiritual di dada, keterkaitan ruhani dengan Rasulullah dan menjadi rahmat bagi semesta. Berikut adalah wawancara saya dengan Syaikh Mustafa.

Ceritakan padaku tentang Kiai Munajat ini?

Kiai Munajat seorang kiai yang pemberani. Beliau menyelamatkan Kolonel Darsono meski dengan resiko. Setelah dua tahun lebih dari cerita Kolonel Darsono, Syaikh Mus baru datang ke sana. Sampai pada tepi sawah kemudian ketemu seorang petani.

Ajeng teng pundi ki sanak? Saya mau ke rumahnya Kiai Munajat”. Oh saya antarkan, saya salah satu muridnya yang pertama.” Ternyata Kiai Munajat sudah wafat empat puluh hari sebelumnya. Kiai Munajat diteruskan oleh anaknya Kiai Munawir, Kiai Munawir ini seorang Kiai yang sangat tawadhu’. Walaupun sudah meninggal, teryata ada masih nyanbung. Santri-santrinya Kiai Munawair kalau menghapal Al-Qur'an di kuburan Kiai Munajat dan murid-murid merasa sangat gampang menghapal Al-Qur’an.

Di situ ngaji seperti suara lebah, karena ramainya mengaji. Saya pernah mengajak teman-teman mampir di sini, teman-teman pada bertanya Ini ada acara apa?” Ya ndak ada, ini memang seperti ini setiap harinya. Al-Qur’an tidak pernah berhenti.”

Kalau berkunjung, saya selalu mondok di sumur beliau. Airnya seger sekali. Tempat beliau dekat terminal Salatiga, dekat kantor NU. Kiai Munajat wafat tahun 1986 atau 1987. Hubungan saya dengan beliau begitu intens. Beliau Jenis orang yang sesudah meninggal masih "online".

Subhanallah. Bagaimana dengan cerita tentang Mbah Dimyati?

Aulia jaman dahulu memang seperti Kiai Munajat itu. Yang model seperti itu di banyak tempat. Di Kedawung, Pemalang ada Mbah Dimyati. Sudah wafat pun masih membantu menghapalkan Al-Qur'an pada cucunya. Ternyata paman saya Kiai Dahlan Kholil mengambil ijah Al-Qur'an dari beliau. Isteri saya pernah dapat cerita dari anaknya bahwa cucunya kalau menghapal Al-Qur'an selalu di kamar Mbah Dim, dan dia merasa selalu disimak Mbah Dim.

Untuk mendapatkan perspektif bagaimana sosok Mbah Dim, ada suatu cerita begini. Suatu hari Mbah Dim menghadiri manaqib di Pekalongan. Ada Habib pulang duluan membawa mobil, Mbah Dim dengan sepeda onthel. Ternyata mobil tersebut mogok dan Mbah Dim mendapatinya.

"Mogok Bib?" tanya Kiai Dim.
Ngenteni Njenengan, Kiai?” jawab Habib.
Nggih mpun mriki. Ya sudah, ke sini. Kalau seperti itu tak lungguhani ‘Quran bodhol’.” (Saking tawadhu'nya beliau menyebut dirinya sebagai Al-Qur'an Bodhol, sudah awut-awutan, lepas-lepas kertasnya. MasyaAllah)
Mpun monggo distater,” kata Kiai Dim.
Sepedamu disendekke situ. Tak ampirke omahku. Ya sudah kuajak kau ke rumahku tak kei kopi” ajak sang Habib.

Itu tipikal ulama NU dulu yang sekarang semakin hilang. Linda yang akan kita kunjungi di Jogja ini, pernah bercerita pada saya begini. Syaikh, ulama kalau bicara tentang kebaikan itu biasanya hanya omongan saja.” Apalagi sekarang, banyaknya kiai di TV. Itu profil scholarship yang ada sekarang. Hanya agama sebagai omongan saja.

Iya Syaikh. Kalau kita lihat sekarang agama di dunia Islam itu hanya omongan saja. Ketika orang bicara tentang kebaikan hanya ngomong saja. Allah pun menjadi sekedar omongan, bukan getar di dada. Allah menjadi sangat abstrak. Padahal Allah adalah Dhat yang Maha Lahir dan Maha Batin. Apa yang hidup di dada Abu Bakar, di Kiai Munajat, di Kiai Dimyati sebagai rukun Islam itu tidak ada. Apa sebabnya bisa menjadi begini?

Ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa operasi Yahudi agar umat Islam agar umat Islam saling bertengkar. Di Semenanjung Arabia, operasi Yahudi ini melahirkan wahabi.

Betul, Syaikh. Wahabi hanya menjadikan agama sebagai wacana saja, bukan keimanan. Al-Quran sebagai debat bukan sumber akhlak. Modus keagamaan Wahabi adalah debat. Melalui debat dan menyalahkan orang lain inilah mereka mendapatkan diri mereka sebagai Muslim. Bukan ibadah mereka pada Allah.

Di samping faktor eksternal itu ada juga faktor internal, yaitu internal weakness yang berupa: hubburiyasah (gila kekuasaan), karohiyatul maut (takut mati), dan hawa nafsu. Di lingkungan NU, tekanan eksternal itu adalah Suharto dengan deulamaisasi dan denuisasi. Suharto merusak ulama dan pesantrennya dengan cara menyebar uang dan menarik mereka dalam kekuasaan. Suharto rusak pesantren dan ulama, sehingga figur-figur seperti Kiai Munajat dan Kiai Dimyati tidak ke permukaan lagi.

Belum lama ini saya ke putera bungsunya Kiai Hamid Pasuruan. Saya dekat sekali dengan beliau.

Syaikh, orang datang ke kita seperti datang ke Kahin.”
Mending Gus, mereka ini datang njenengan bukan datang ke Kahin beneran,” jawab Syaikh Mus.
Dulu, waktu Mbah Hamid, ada orang Madura datang ke rumah, membawa buntelan. Terus ditanya: Apa itu?”
Biasa” jawabnya. Kembang”.
Digawe apa?” Tanya Kiai Hamid.
Sampean dongani, agar kapalku dapat banyak ikan dan besar.”
Oh, Ditaruh kapal. Kalau kembange ditaruh kapal, kembange jadi amis atau ikannya yang wangi. Taruh saja di rumah, di tempat tidurmu biar tempat tidurmu menjadi wangi,” saran Kiai Hamid dengan lemah lembut. Kon deleh di sajadahmu biar kalau sembahyang menghirup bau wangi”.
Baiklah kalau begitu, Kiai.”
Beberapa hari berikutnya sang nelayan datang dengan ikan besar.
Saya mau memberikan ikan-ikan ini kepada Kiai. Karena doa kiai saya mendapatkan ikan yang besar dan banyak.”
Lho aku belum doa je..” jawab Kiai Hamid sambil tersenyum. Inilah persembunyian dan ketawadhuan Kiai Hamid. Sebenarnya, tentu saja sudah didoakan.

Inilah kekuatan dan kelemahan internal. Inilah internal strength yang aku maksudkan. aku belum berdoa loh”. Wah, Inilah persembunyian Kiai Hamid. Luar biasa. Kalau tanpa internal strengthness di dalam hati, siapapun akan gampang terseret tsunami dunia yang besar.
Karena kualitas-kualitas seperti inilah, maka beliau-beliau para ulama itu menjadi spreader of love cahaya Muhammad di segala penjuru. Maka di mana-mana saya mengajak muslim untuk haul, kembali menghidupkan pertalian batin mereka dengan Rasulullah.
Saya melakukannya dengan action plan, bukan dengan penjelasan, bukan dengan frame of reference. Ulama dahulu menunjukkannya dengan karomah. Karena saya khodimnya Syaikh Nadhim, dalam fana fi syaikh, ibaratnya saya hanya memegang gagang tombak. Ujung tombaknya adalah Syaikh Nadhim. Sedangkan Syaikh Nadhim dalam kefanaannya fi rasul, beliau tidak ada. Beliau hanya mengadakan Rasulullah SAW untuk orang banyak dan kehidupan saat ini dalam suatu transparani”.
Perjalanan kami sudah sampai Magelang. Cerita kami berganti tentang Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur, pertalian antara lailatul ijtima NU dengan majelis dzikir Walisongo di Masjid Demak.
Saya akan menuliskan cerita ini dalam edisi berikutnya. Dengan cerita di atas, semoga bisa mengambil manfaat. selamat menghidupkan kembali rasa di hati, senantiasa tenggelam dalam hadharah Qudsiyyah Allah, dan menjalin pertalian dengan Rasulullah SAW, sehingga bisa berkata pada masalah umat.

Amalan Abuya Dimyati Banten Waktu Dipenjara
Abuya Dimyathi (Mbah Dim) Banten adalah seorang sosok ulama sejati yang wara' dan zuhud. Keilmuannya benar-benar melaut alias "bahrul 'ulum", sehingga semua bidang-bidang keilmuan Islam dikuasainya dengan baik, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir Al-Qur'an, mantiq (logika), balaghah (sastra Arab), tauhid, tasawuf, ilmu falaq, dan sebagainya.

Pernah beliau mengajarkan kitab "
Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari
(15 jilid)" sampai khatam (tamat) hanya dalam jangka waktu 3 tahun. Padahal ulama Jawa ketika itu, jika mampu mengkhatamkannya diperkirakan membutuhkan waktu 15 tahun, mengingat bahasa di dalam kitab tafsir itu sangat sulit dan rumit sekali.
Pernah pada pangajian di malam Selasa dan alhamdulillah ketika itu saya ikut mengaji, di dalam kitab tafsir Ibnu Jarir tulisannya banyak yang tidak tercetak, kemudian langsung beliau melanjutkan tulisan yang tidak tercetak itu dengan mudah dan baik tanpa mengalami kesulitan sedikitpun juga. Itulah di antara karamah beliau.
Setelah tamat pengajian kitab "Tafsir Ibnu Jarir", kemudian diganti dengan kitab "
Tafsir Ibnu Abi Hatim(15 jilid)". Sayang sekali baru beberapa jilid mengaji, beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.Pada suatu hari, dalam suatu pengajian beliau bercerita sebagai ungkapan "
tahaddus bin ni'mah(menceritakan nikmat Allah SWT)" tentang amalan-amalan yang beliau istiqamahkan. Kata beliau: "Saya mengerjakan shalat tahajjud,As-sahar(tidak tidur di malam hari dengan menghidupkan sepanjang malam dengan mengajarkan kitab-kitab kepada santri, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya), dan "shaum ad-dahri" atau puasa sepanjang tahun (kecuali 5 hari yang diharamkan puasa) dimulai sejak umur sebelum baligh (sekitar 10 tahun) sampai sekarang".

Subhanallah. Bagaimana dengan kita?
Beliau sangat menghormat dan menghargai pemerintah dan tidak pernah mencela dan merendahkan pemerintah apalagi di pemerintahan yang ada ulamanya. Padahal, beliau pernah dizholimi oleh pemerintah bahkan dipenjara karena difitnah, tapi beliau tidak membalasnya dan beliau pasrahkan masalahnya kepada Allah SWT.
Kita kehilangan beliau, ulama sejati yang wara', zuhud dan bahrul 'ulum. Do'a beliau sangat tajam sekali, karena beliau "Sang Waliyullah" yang banyak karamahnya.

No comments:

Post a Comment