Zat ini masalah qadim, tidak dapat diketahui dengan panca indera. Sifat itu masalah baharu, dapat diketahui dengan panca indera.
Zat artinya diri. Sifat artinya kelakuan.
Siapa yang berkelakuan? Tentulah diri (yang berkelakuan), bukan sifat. Itu dikatakan zat dan sifat itu satu (esa). Tidak bisa becerai. Ada zat, ada sifat dan sebaliknya. Karena zat itu tempat beradanya sifat (atau sifat bertempat pada zat). Sifat itu keadaan yang ada pada zat (atau sifat adalah hal keadaan zat).
Contoh:
Orang yang sedang demam. Mengapa bukan demamnya yang disuntik (dokter), malah bokongnya yang disuntik? Jadi, demam itu hanya sifat. Sifat tidak bisa berada pada sifat. Sifat mesti berada pada zat.
Zat dan sifat itu dua perkataan, tetapi satu. Maksud perkataan ini; ada zat - ada sifat; ada sifat - ada zat.
Zat ini ada yang bersifat nafsiyah, ada yang bersifat salbiyah, ada yang bersifat ma'ani, dan ada yang bersifat ma'nawiyyah.
Khususnya sifat Nafsiyah. Sifat Nafsiyah ini menunjukkan bahwa zat bersifat wujud (ada). Dan adanya zat ini tidak dikarenakan oleh suatu sebab (sedia ada). Zat ini ada selama-lamanya. Tidak akan rusak binasa. Meliputi sekalian alam. Yang meliputi sekalian alam inilah zat mutlak.
Zat mutlak inilah energi ketuhanan. Manusia dapat mengubah energi, tapi tidak bisa membersihkannya. Contoh: Hiroshima dan Nagasaki. Berapa lama tidak bisa dibersihkan radiasinya? Ketika sekarang sudah bersih dari radiasi nuklir, siapa yang membersihkannya? Tentulah energi ketuhanan itu yang membersihkannya.
Jelaslah, maharuang inilah energi ketuhanan. Satu saja. Tidak ada dua, tiga, dst.
Berjuta-bilyun bintang di langit dan benda-benda angkasa lainnya, mengapa tidak berguguran ke bumi? Padahal tidak ada penyangganya. (Bagaimana mungkin) kalau tidak ada satu kekuatan besar yang menahannya.
Tubuh maharuang inilah yang dapat menahan berjuta-bilyun ton agar tidak saling bertumbukan. Inilah Qimyatus Sa'adah (Kimianya Agama).
Nabi saja menuntut ilmu dari rumah beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Manusia, dari rumahnya sampai ke bulan saja belum sampai. Pengetahuan Islam sudah sampai ke fil ufuki a'la (sampai ke ufuk tinggi). Maka ada perkataan al-Islam ya'lu wa laa yu'la alaih.
Orang Islam yang hakiki, dia tidak akan mengucap laa ilaaha ila Allah kalau dia belum tau apa itu laa ilaaha ila Allah.
Dalam Salat
Waktu takbir ihram, siapa Allah itu?
Maka pentinglah mengetahui diri. Bukan ruhani saja yang mahasuci, jasmani pun mesti mahasuci juga. Maka jasad ini perlu dimahasucikan juga, bukan ruhani saja. Jasmani bermaksud dengan cara nafsu, ruhani bermaksud dengan cara keimanan, sedangkan nurani dan rabbani bermaksud dengan cara ketuhanan.
Kalau jasad tidak dapat mengesakan, tentu ruhani menuntut. Sebab, jasad mengandung nyawa. Bukan ruhani yang mengandung jasad (tubuh).
Kalau salat, manusia itu bukan hamba, sudah Allah semata-mata. Kalau salat itu sudah Allah semata (yang ADA), tidak perlu lagi mengaku diri kita ini Tuhan dan mau sama dengan Tuhan.
Ingat:
Mengaku diri kita Tuhan: KAFIR.
Tidak mengakui Diri Tuhan: KUFUR.
Dalam salat, setiap manusia mengaku dirinya Tuhan. Cermat-cermat dengan bahasa ini!
Makanya dalam salat itu jangan ada lagi i'tikad-i'tikad karena agama bukan i'tikad-i'tikad. Sudah nyata senyata-nyatanya semua orang yang salat itu mengakui Diri Pribadi Tuhan. Bukan mengakui dirinya Tuhan, tapi mengakui Diri Tuhan (atau mengakui ADA-nya Diri Tuhan itu.)
Hakikat Muhammad
Wajib kita mengetahui hakikat Muhammad.
Dalam ilmu, hakikat Muhammad itu Allah. Ini dalam ilmu.
Dalam makrifat, pengenalan yang sebenar-benarnya: hakikat Muhammad itu bukan zikir-zikir lagi. Maka dengan hakikat Muhammad ini tidak ada zikir-zikir lagi. Karena hakikat Muhammad inilah bekal yang tidak basi sampai akhirat. Ini yang dibawa mati. Tidak ada zikir lagi.
Lihat ketika berdoa, semua minta mati dalam iman, Islam, dan husnul khatimah, tapi hakikat Muhammad tidak mereka ketahui. Hakikat Muhammad inilah mati dalam iman, Islam, dan husnul khatimah.
Muhammad saja sudah selamat.
Coba perhatikan, siapa yang sampai kepada Allah? Siapa yang bisa menembus zat asam dan zat mutlak kalau bukan Muhammad?
Belajarlah. Jangan salah paham. Mintalah pada guru-guru yang hebat bekal-bekal yang tidak basi sampai akhirat. Sebab ini yang dibawa mati. Tidak ada zikir lagi. Bukan seperti kelaziman orang: ada yang mau mati baru dibacakan zikir laa ilaaha ila Allah.
Nabi Muhammad Saw. itu bukan mati, melainkan tidur hakiki. Orang tidur hakiki ini orang yang tidak tidur di dunia lagi, tetapi tidur di Mahasuci. Mahasuci inilah tempat husnul khatimah. Tempat yang penuh berkah. Inilah pengajian 80.000 hakikat ke atas. Artinya 80.000 tempat yang penuh rahmat. Inilah pengajian sirri sirrihi, rahasia di dalam rahasia. Tidak ada alam lagi.
Rasanya rasalah yang merasa. Inilah rasa di dalam rasa. Artinya, di dalam rasa itu ada rasa.
Air yang ada gulanya dapat kita rasakan manis. Air yang ada garamnya, asin. Sedangkan Tuhan tidak ada rasa-rasa. Pecahkan sendiri supaya terbuka rahmat Allah. Jangan kita merasa yang ada rasa saja, coba-cobalah merasa yang tidak ada rasanya. Bagaimana rasanya? Barulah tahu Allah itu surga.
Muhammad Saw. tidak ada mengajarkan filsafat dan tidak memiliki filsafat. Akan tetapi, filsafat Muhammad ini wahyu.
Bagaimana Tuhan mengajar hamba-Nya?
Tanpa huruf; tanpa suara. Laa bi harfin wa laa shautin. Bagaimana kita untuk dapat paham pelajaran tanpa huruf tanpa suara ini? Asah akal dengan pikiran, bukan dengan batu canai. Apa maksudnya? BERPIKIRLAH!
Contoh:
Para filsuf itu membuat rumus-rumus alam dengan berpikir. Lalu rumus-rumus itu disyariatkan sehingga hari ini kapal berlayar tidak lagi pakai kain layar yang bergantung pada angin.
Jangan latah! Mereka bilang manusia itu dari kera. Begitu ilmu wahyu turun, dikata manusia itu dari Tuhan. Runtuhlah ilmu filsafat manusia.
Kenal diri
Mau kenal diri? Buka Al-Mukminun:17.
-Arifbillah-
No comments:
Post a Comment